Aktivis migran di Hong Kong pertanyakan kematian TKI di Malaysia
Sejumlah aktivis dan organisasi buruh migran
berunjuk rasa di depan kantor Konsulat Jenderal Malaysia di Hong Kong
dan mempertanyakan lebih dari 30 tenaga kerja asal Indonesia yang
meninggal di Malaysia.
Para aktivis menduga para tenanga kerja ini adalah korban human trafficking atau perdagangan manusia.Korban perdagangan manusia yang mereka sebutkan tersebut banyak yang berasal dari Nusa Tenggara Timur dan kembali sebagai jenazah dengan 'organ-organ yang hilang'.
Pejabat Konsulat Jendral Malaysia menerima petisi para aktivis migran ini namun tidak bersedia memberikan komentar.
"Kami khawatir dengan meningkatnya jumlah kematian migran asal NTT di Malaysia. Dari Januari hingga September 2016 saja, ada 33 migran meninggal dunia, beberapa di antaranya dengan organ-organnya hilang," kata Eni lestari, ketua International Migran Alliance, IMA, yang berkantor di Hong Kong kepada wartawan BBC, Christine Fransiska.
Organ tubuh hilang
Salah satu contoh kasus yang disebutkan adalah
Yufrinda Selan, 19 tahun, yang dilaporkan hilang oleh keluarganya sejak
September 2015."Saat jenazahnya dikembalikan ke kampungnya, keluarganya mengetahui bahwa ia dipekerjakan di Malaysia sebagai pembantu rumah tangga. Nama dan usianya di paspor dipalsukan sebagai Merlinda Sapai dan umurnya 22 tahun."
"Contoh kasus lain adalah seorang perempuan muda bermana Dolfina Abuk dari Kotafoun Abuk, berusia 30 tahun. Dia meninggalkan desanya pada 2013 dan bekerja di Malaysia sebagai pembantu rumah tanga. Dia ditemukan meninggal pada tanggal 7 April. Jenazahnya dikembalikan bulan April dengan luka memar... Seperti halnya Yufrinda, penyebab kematian Dolfina juga tak jelas," tambah Eni.
Jenasah Dolfina, menurut catatan yang disusun IMA, dikembalikan tanpa organ seperti "ginjal, jantung dan organ lain dipotong dan ditempatkan kembali secara tidak layak."
"Dalam kasus-kasus ini, tidak ada yang diselidiki dan pelaku dibawa ke pengadilan oleh pemerintah Malaysia ataupun Indonesia," tulis IMA.
BBC Indonesia berusaha menghubungi pejabat perlindungan WNI di Kementerian Luar Negeri, namun belum mendapatkan jawaban.
Eni Lestari, yang tampil di Konperensi PBB tentang pengungsi bulan lalu, menuntut agar hak buruh migran diperhatikan.
"Kami terjerat utang, diperdagangkan, terjebak dalam perbudakan, hak-hak dasar kami dinafikkan, kami rentan terhadap penyiksaan. Banyak di antara kami hilang dan bahkan meninggal dunia. Mimpi kami telah menjadi mimpi buruk," kata Eni dalam konperensi tanggal 19 September lalu.