Duh, Demi Tetap di Hong Kong, TKI Rela Nikahi Pria Uzur
Ilustrasi |
Seorang aktivis buruh migran Indonesia (BMI) di Hong Kong mengatakan,
bahwa banyak tenaga kerja perempuan Indonesia yang menetap dan bekerja secara
ilegal di Hong Kong baik karena kehabisan masa berlaku visa kerja atau
sengaja menyalahgunakan visa, seperti memasuki Hong Kong dengan visa
turis yang masa berlakunya empat bulan.
Menurut aktivis tersebut buruh migran dari salah satu kabupaten di Jawa Timur itu, jumlah TKI di Hong Kong sekitar 165 ribu orang dan jumlah buruh migran Indonesia yang melebihi batas waktu tinggal (overstay) kira-kira lima-enam kali lebih banyak dari TKI pemegang recognition paper. Angka pastinya sulit diketahui karena keberadaan mereka tersembunyi, main kucing-kucingan dengan pihak aparat imigrasi dan kepolisian Hong Kong.
“Kebanyakan TKW lebih suka jadi overstay ketimbang pegang recognition paper karena aslinya mereka tetap cinta negeri sendiri,” kata sang aktivis lewat percakapan jejaring sosial dengan Tempo pada Rabu, 25 Juni 2015.
Sebagian TKI perempuan malah terpaksa rela dinikahi pria uzur agar bisa menetap permanen sebagai penduduk Hong Kong dan dengan begitu mereka bisa bekerja di restoran, toko, pabrik, dan lainnya.
Menurut aktivis tersebut buruh migran dari salah satu kabupaten di Jawa Timur itu, jumlah TKI di Hong Kong sekitar 165 ribu orang dan jumlah buruh migran Indonesia yang melebihi batas waktu tinggal (overstay) kira-kira lima-enam kali lebih banyak dari TKI pemegang recognition paper. Angka pastinya sulit diketahui karena keberadaan mereka tersembunyi, main kucing-kucingan dengan pihak aparat imigrasi dan kepolisian Hong Kong.
“Kebanyakan TKW lebih suka jadi overstay ketimbang pegang recognition paper karena aslinya mereka tetap cinta negeri sendiri,” kata sang aktivis lewat percakapan jejaring sosial dengan Tempo pada Rabu, 25 Juni 2015.
Sebagian TKI perempuan malah terpaksa rela dinikahi pria uzur agar bisa menetap permanen sebagai penduduk Hong Kong dan dengan begitu mereka bisa bekerja di restoran, toko, pabrik, dan lainnya.
Setelah menikah, pasangan tersebut mengajukan
rekomendasi ketidakmampuan ke pemerintah setempat. Bila disetujui,
mereka dapat menyewa rumah susun murah dari Hong Kong Housing Society,
terus dapat jatah masyarakat miskin dari pemerintah lantaran suami sudah
tua dan tidak bekerja.
Namun, sang aktivis melanjutkan, overstay dan recognition paper merupakan dua dari sekian banyak masalah yang dihadapi TKI di Hong Kong. Dia menegaskan seluruh persoalan yang dihadapi buruh migran Indonesia di Hong Kong dan negara lain yang jadi tujuan TKI sangat dilematis.
“Semua itu takkan terjadi jika pemerintah bener-bener melindungi kami. Kami yang tahu betul perlakuan pemerintah terhadap kami. Dalam banyak kasus, pemerintah bukan melindungi, tapi malah menjadikan kami sebagai komoditas,” kata dia.
Sebelumnya, Staf Konsulat Jenderal Indonesia di Hong Kong, Agustav Illias, mengatakan, setelah overstay banyak TKI bersiasat mendapatkan recognition paper, semacam surat izin tinggal sementara pengganti paspor yang diterbitkan Departemen Imigrasi Hong Kong, dengan cara mengajukan diri sebagai pengungsi. Pemberian recognition paper harus melalui keputusan pengadilan setempat.
Pengajuan recognition paper mensyaratkan TKI untuk menyerahkan paspor secara sadar dan sengaja ke pemerintah Hong Kong. Recognition paper merupakan celah hukum yang biasanya ditempuh buruh migran asing di Hong Kong.
“Pemegang recognition paper mengharapkan negara ketiga untuk menampung mereka. Dengan pengakuan recognition paper, sebenarnya mereka sudah jadi warga negara Hong Kong,” kata Agustaf di Malang pada Rabu dinihari, 24 Juni 2015.
Sumber: Tempo