Bos Migrant Alliance: Soal Biaya TKI, Kita Kalah dari Nepal
Eni berkunjung ke Indonesia dan menemui Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri pada Selasa pagi, 27 September 2016. Hal pertama yang ia sampaikan kepada Menteri Hanif adalah soal biaya penempatan di Indonesia, yang tergolong tinggi dan berulang-ulang dibandingkan Filipina dan Nepal.
"Dan kami harus mengurusnya lewat PJTKI. Padahal di Filipina dan Nepal bisa sendiri," kata Eni lugas. Ia meminta pemerintah membuka dua jalur: lewat agen dan mandiri. Karena majikan pun sering mengeluhkan pola tersebut kepada para tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
"Seorang TKI itu bisa membayar 2-4 kali dalam seumur hidupnya. Jadi kalau ditotal 10 tahun kerja, maka 3 tahunnya habis untuk membayar biaya penempatan. Apalagi korban PHK. Kami menyebutnya perbudakan hutan," tutur Eni.
Eni mengatakan gaji pekerja di Hong Kong sekitar Rp 6 juta (4120 dolar Hong Kong). Dan di 6 bulan pertama, seorang tenaga kerja bisa berhutang karena gajinya dipotong 65 persen oleh agen untuk membayar biaya penempatan. Dan sehabis kontrak, untuk memulai yang baru kembali membayar biaya penempatan.
Menurut Eni, persoalan biaya penempatan bisa langsung ditangani menteri tanpa adanya perubahan Undang Undang No 39 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia tahun 2004. "Biaya yang diambil PJTKI itu sifatnya resmi karena ditandatangani menteri tenaga kerja," kata Eni yang didampingi Ketua Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia Iweng Karsiwen.
Menurut dia, Menteri Hanif akan melakukan rapat dulu terkait biaya penempatan yang berulang-ulang dan harus melalui jalur PJTKI. "Saya tidak bisa memutuskan sekarang," kata dia mengutip pernyataan Menteri Hanif.
Eni berpidato di Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa, di New York, Amerika Serikat pada 19 September 2016 lalu soal kondisi buruh migran di dunia. Ia mewakili suara buruh dan pengungsi dunia yang mengalami ketidakadilan dalam hal upah, dan hak-hak kemanusiaan.
Sumber: Tempo