Breaking News

Kisah Heni Sri Sundani, Mantan TKI yang Berjuang Raih Mimpi




Teman-temannya banyak yang terjebak menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) selama puluhan tahun. Namun, ia tak lupa akan cita-cita yang dibawanya dari Rancatapen, sebuah dusun pelosok di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

"Sebenarnya enggak ada keinginan menjadi TKI. Aku enggak punya cita-cita menjadi TKI. Tetapi waktu itu aku menemukan jalan buntu. Aku sejak kecil ingin menjadi guru," kata Heni Sri Sundani berbincang dengan Kompas.com awal pekan ini, usai sebuah acara penghargaan.

Di acara itu, Heni menerima penghargaan sebagai TKI inspiratif dari sebuah koran nasional.

Belum lama ini, Heni juga menyabet penghargaan bergengsi dari Forbes dengan kategori Anak Muda Berpengaruh di Bawah 30 Tahun.

Hidup dan berkembang di tengah-tengah keluarga miskin dengan lingkungan sekitar yang tak jarang memandang sebelah mata cita-citanya, membuat Heni sejak kecil tak sekadar asal sekolah.

Meskipun untuk mencapai tempat ia menimba ilmu itu, penuh dengan perjuangan dan peluh.

Setiap hari, Heni harus menempuh perjalanan dua jam pulang-pergi ke sekolah dasar. SD-nya itu terletak di pertengahan perkebunan karet dengan tenaga pendidik yang amat terbatas.

Bahkan tak jarang, kata Heni, gurunya malah tidak ada di kelas.

Hampir setiap hari pula ia mendapatkan pekerjaan rumah dari sekolahan. Heni kerap mengerjakannya seorang diri karena hanya tinggal berdua dengan neneknya sejak kecil.

Sementara tetangga kanan-kirinya, kebanyakan juga tak sekolah, sehingga susah baginya meminta bantuan.



"Ayah dan ibu sudah broken semenjak aku kecil banget. Dan ibu menjadi buruh di pabrik, di Bekasi. Aku hanya dibesarkan oleh seorang nenek yang buta aksara, enggak bisa baca tulisan. Enggak kebayang kalau punya PR, siapa yang bisa bantu aku," ucap Heni.

Yang membuat Heni sedih, terkadang PR dari sekolahan tidak dikoreksi keesokan harinya di kelas.

Padahal, selama belajar membuat PR itu, Heni hanya mendapat penerangan dari lampu teplok. Rumahnya belum dialiri listrik.

"Sudah lubang hidungnya hitam-hitam, sampai sekolahan gurunya enggak ada. Kadang-kadang kalau ada PR, enggak diperiksa," ucap Heni.

"Dari sana, seperti ada dendam positif dari dalam diri aku. Suatu hari nanti, aku harus menjadi guru yang enggak boleh nyia-nyiain semangat anak didiknya untuk sekolah," tambah Heni.

Sulitnya akses transportasi ke SD membuat Heni tak jarang kerepotan di kala hujan. Biasanya, kalau kehujanan sepulang sekolah, seragam yang ia kenakan, diangin-anginkannya di atas tungku.

"Bau asap enggak apa-apa. Yang penting besok bisa dipakai lagi, karena punya seragam cuma satu," katanya.

Dicibir tetangga

Heni mengatakan, memang kondisi masyarakat di dusun tempatnya tinggal tidak terlalu baik. Bahkan, bisa dibilang buruk.

Teman-teman Heni seolah takut untuk memiliki cita-cita karena keterbatasan segalanya, meskipun mereka sama-sama merasakan kesusahan yang sama.

Tak sedikit dari teman-temannya itu yang hanya tamatan SD. Karena kondisi ekonomi, istilah Heni, boro-boro untuk sekolah, untuk makan saja susah.

Di sisi lain, Heni yang selalu mendapat peringkat pertama di sekolahnya mendapatkan beasiswa dan memantapkan diri menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Namun, prestasi ini pun banyak juga yang mencibir.

"Ketika aku melanjutkan SMP, tetangga itu pada ngomong, 'ya ampun itu anak enggak tahu diri banget. Buat makan saja susah, malah nambah kesusahan dengan sekolah'. Mereka bilang begitu, karena tahunya sekolah itu hanya susahnya saja," ucap wanita kelahiran 1987 itu.

"Memang ketika kita investasi di pendidikan itu seperti menanam. Kita tidak bisa memanennya langsung pada hari yang sama. Butuh proses. One day, kita akan memanennya," ucapnya.

Sama seperti ketika SD, Heni juga pulang-pergi ke SMP-nya dengan berjalan kaki. Malah jarak tempuhnya lebih jauh lagi, hingga memakan waktu empat jam perjalanan.

Lepas bangku menengah pertama, Heni masih bersemangat untuk sekolah. Pilihannya jatuh pada sebuah sekolah menengah kejuruan, dengan jurusan akuntansi.

Karena letaknya yang berada di kota, Heni terpaksa harus "ngekos". Biaya kostan ia cukupi dari uang beasiswa dan kiriman ibundanya.

"Dalam satu bulan, aku hanya dijatah untuk bantu bayar kostan Rp 25.000. Itu tahun 2002-2005. Kalau misalkan aku pulang ke rumah, aku dibekali beras," ucapnya.

Selain itu, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari Heni menerina pekerjaan serabutan. Apapun pekerjaan halal ia kerjakan, seperti menerima jasa pengetikan teman-temannya hingga berjualan jilbab.

Kebetulan kostan Heni dekat dengan rental komputer.

"Aku bergaul sama teman-teman (biasa) saja (tidak minder). Enggak merasa malu, karena aku enggak punya pilihan untuk malu. Aku enggak punya pilihan untuk diam. Karena kalau aku diam aja, enggak ada yang bantu aku," katanya.

Tertipu agen

Lulus SMK, Heni masih semangat mengejar mimpinya menjadi seorang guru. Namun, kondisi ekonomi makin sulit. Ibu dan neneknya sudah semakin tua.

Ibunya tak bisa lagi bekerja di luar daerah dan kembali ke Ciamis. Di sisi lain, rumah yang ia tinggali juga semakin memprihatinkan.

"Waktu itu aku sudah buntu. Yang aku pikirkan, aku ingin kuliah jadi guru. Tetapi melihat kondisi rumah saja sudah mau roboh, boro-boro buat nyekolahin aku," katanya.

Akhirnya, ia mencari informasi dari tetangga yang pernah bekerja di luar negeri. Dari situ, Heni memantapkan diri untuk hijrah ke Hongkong usai pelatihan tiga bulan di balai latihan kerja Tangerang, Banten.

Namun, Heni memastikan sekali lagi, menjadi TKI bukanlah tujuannya, tetapi hanya sebagai jembatan untuk mencapai cita-cita yang lebih besar.

"Sebenarnya takut pergi ke Hongkong. Berangkat seorang diri, tanpa handphone, tanpa uang sepeserpun, tanpa orang yang aku kenal. Tetapi, aku berpikir, masa depan akan jauh lebih menakutkan ketika aku tetap berdiam diri di kampung halaman aku," katanya.

Heni pada akhirnya berangkat juga ke Hongkong. Ternyata, PJTKI yang menjadi penyalurnya tidak beres.

Data diri Heni yang kelahiran 1987 dituakan menjadi 1982. Selain itu, setibanya di bandara, seluruh buku petunjuk yang dibagikan pada calon TKI, dibuang.

Permasalahan underpayment dan overcharge juga dirasakan Heni. Gaji dalam kontrak yang seharusnya 3.200 HKD, hanya diterimanya sekitar 1.800 HKD atau setara Rp 3 jutaan (kurs Rp 1.700 per HKD).

Selain itu, potongan gaji melebihi kesepakatan. Selama tujuh bulan gaji Heni dipotong oleh PJTKI. Hingga selama masa potongan gaji itu, gaji yang ia terima hanya 200-300 HKD.

Pada tahun pertama, Heni juga tidak bisa mengambil hak libur, pun ketika hari Minggu ataupun tanggal merah.

Kalau sampai libur, maka gajinya akan dipotong lagi 100 HKD.

Kesusahannya sebagai seorang TKI tak berhenti hanya sampai urusan dengan agen nakal.

Majikan pertama Heni yang mengontraknya selama dua tahun, sangat merendahkan profesi asisten rumah tangga.

Ceritanya waktu itu, Heni yang memang suka membaca, tengah membaca sebuah buku.

"Dia sampai ngomel-ngomel. 'Eh, kamu lagi ngapain di sini? Kamu lagi baca buku, ya? Kalau pembantu itu enggak usah lah bisa baca buku. Pembantu itu yang penting kamu bisa jaga anak, bisa masak, bisa bersihin rumah, selesai'. Begitu majikan aku bilang dengan nada sinis," kata Heni.

Setelah setahun, yang artinya sudah bisa mengambil libur pada akhir pekan, Heni mengisi liburannya dengan pergi ke perpustakaan dan kuliah D3 jurusan IT tanpa sepengetahuan majikannya.

Heni tak membayangkan apa yang akan terjadi jika majikannya tahu ia kuliah. Beruntung, majikan kedua yang mengontraknya selama empat tahun cukup baik.

Heni kala itu juga melanjutkan studi di Saint Mary's University jurusan manajemen wirausaha. Heni akhirnya berhasil menuntaskan studi S1-nya selama 3,5 tahun.

Untuk membiayai kuliahnya, Heni menjadi kontributor di banyak koran Hongkong dan Taiwan yang berbahasa Indonesia.

Ia juga sering mengikuti lomba penulisan. Dari situ uangnya cukup untuk membiayai biaya kuliah.

Sementara sebagian besar gajinya dikirimkan pada ibu dan neneknya di Ciamis.

Terjebak jadi TKI

Setelah kontraknya habis dan lulus sarjana, Heni kembali ke Indonesia pada 2011. Aktivitas Heni banyak diisi dengan menjadi pembicara mengenai isu-isu TKI dan inspirasi.

Di tahun berikutnya, Heni menikah dengan Aditia Ginantaka, dan hingga saat ini dirinya aktif di yayasan yang didirikannya bersama suami.

Cita-cita menjadi guru, tentu saja diraihnya. Bahkan, Heni juga menjadi dosen di Universitas Djuanda.

Kini, Heni juga tengah menyelesaikan tesis dari program pascasarjana yang ia ambil di Bumiputera School of Business.

Meski sudah kembali dan sukses mencapai cita-citanya, ia tak lupa akan teman-teman TKI-nya dan segala permasalahan pelik yang dihadapi para pahlawan devisa.

Memang, selama enam tahun di Hongkong Heni tak hanya merasakan sendiri bagaimana menjadi seorang TKI, namun juga menuliskannya menjadi buku dan berbagai publikasi di media massa.

Menariknya, banyak orang tak mengerti apa masalah para TKI, khususnya di Hongkong, selain pemalsuan data yang dilakukan oleh agen dan pemotongan gaji yang tidak sesuai kontrak.

"Masalahnya TKI lainnya, kadang-kadang teman-teman itu lupa tujuan awalnya ke Hongkong apa," kata Heni.

"Misal, tujuannya mengumpulkan modal untuk kembali ke Indonesia, tetapi bahkan ada beberapa orang yang sampai 20-30 tahun masih bekerja di Hongkong dan dia sulit mengatur uang, sehingga enggak pulang-pulang," katanya lagi.

Dalam pandangannya, kelalaian ini tidak hanya karena faktor dalam diri TKI itu sendiri. Lingkungan di Hongkong juga membentuk gaya hidup mereka, menjadi tidak bisa mengelola keuangan dengan baik.

"Jadi, aku sedih sih. Kalau aku kan menjadikan TKI sebagai jembatan untuk meraih cita-citaku yang lebih besar. Tetapi, teman-teman ini justru menjadikan TKI sebagai tujuan," ucap Heni.

Ia berprinsip, hidup itu bukan hanya soal mengumpulkan pundi-pundi. Bukan hanya soal enam hari bekerja dan satu hari libur. Bukan hanya soal membantu menyelesaikan pekerjaan orang lain.

"Bahwa dalam hidup kita harus punya impian. Kalau kita enggak punya impian, maka orang lain akan meng-hire kita untuk membantu mewujudkan mimpi mereka. Terus kita (jadi) apa?" pungkasnya.


Sumber:kompas