Kado Imlek 2012 Desahan Cinta 2 Malam Korea-Hong Kong
Hong-Kong-Semoga kisah ini menjadi pelajaran untuk kita semua .
Terserah orang lain menganggap ini sebagai petaka atau anugerah, namun bagiku ada hikmahyang harus aku petik di balik musibah. Dikucilkan, kemudian dianggap hina, itu konsekuensi yang harus aku terima dengan ikhlas”
Masih segar dalam ingatan, semangatku untuk menjemput kedatangan temanku yang baru saja pulang dari Indonesia di Bandara Lap Chek Kok – Hong Kong pada liburan Imlek, Februari 2012. Oleh teman sekampungku, aku dibawakan oleh-oleh sambel pecel berikut sambel goreng teri buatan tangan ibuku. Teman yang aku jemput, majikannya tidak jauh dari bandara. Sedangkan, aku tinggal di rumah majikanku di kawasan Jordan. Karena berbeda arah inilah aku menyempatkan diri menjemput barang-barang titipan itu ke bandara, supaya bisa segera sampai di tanganku.
Sembari menunggu temanku keluar di pintu kedatangan, tiba-tiba ada seorang laki laki menyapaku dengan menggunakan bahasa Indonesia. Awalnya ia bertanya, apakah aku orang Indonesia? Setelah aku jawab benar sayaorang Indonesia, lelaki tersebut kemudian bertanya tentang penginapan yang murah dan nyaman di Hong Kong. Ia mengaku seorang pekerja migran Indonesia (PMI) Korea, yang hendak melancong ke Hong Kong.
Lelaki tersebut memperkenalkan diri bernama Edi Purwanto, asal dari Sragen, Jawa Tengah. Singkat cerita, usai kami berkenalan, aku menawarkan diri untuk keluar dari bandara bersamaku. Karena aku tidak tahu penginapan di Hong Kong selain di Jordan, akhirnya aku menawarkan kepadanya untuk sekalian mengantar ke sebuah penginapan di Jordan. Kebetulan, aku tahu tarif dan fasilitas di penginapan itu saat salah seorang teman menginapkan suaminya di penginapan itu beberapa bulan sebelumnya.
Mas Pur, begitu selanjutnya aku memanggil lelaki tersebut, menerima usulanku. Itung- itung mendapat teman baru, aku juga menawarkan menemani Mas Pur mengunjungi beberapa tempat yang menjadi landmark-nya Hong Kong. Kebetulan, pada Imlek tahun 2012 itu aku mendapat libur tiga hari. Sebagai orang yang belum pernah menginjakkan kaki di Hong Kong, Mas Pur menyambut tawaranku dengan gembira.
Begitu teman yang kujemput sudah tampak di pintu kedatangan, segera aku menghampirinya untuk mengambil titipanku. Selanjutnya, aku melanjutkan perjalanan meninggalkan bandara menuju Jordan bersama Mas Pur. Usai Mas Pur check in di penginapan tersebut, aku meninggalkannya untuk pulang ke rumah majikan – yang tidak jauh dari tempat Mas Pur Menginap. Hanya lima menit berjalan kaki. Selanjutnya, aku janjian akan datang menjemput Mas Pur untuk makan malam. Malam itu kami jalan bersama, meski hanya di kawasan Jordan.
Maklum, selain waktunya sudah malam, suhu udara di bulan Februari terasa dingin menusuk tulang. Setelah keperluan makan dan belanja beberapa kebutuhan lain terpenuhi, kami kembali ke penginapan Mas Pur. Kami berbincang apa saja, bercengkerama akrab seolah sudah mengenal sekian lama. Entah bagaimana, sesuatu yang semestinya hanya layak dilakukan oleh pasangan suami-istri, kami lakukan malam itu hingga beberapa kali. Tanpa paksaan, karena aku merasa kami memang saling membutuhkan.
Bangun keesokan harinya, aku merasa Mas Pur bukan lagi sosok yang pertama saat aku bertemu dengannya di bandara. Aku melihatsosok Mas Pur ada di dalam hatiku. Seolah pasangan yang sedang berbulan madu, kami pun melewati hari dengan kehangatan selama Mas Pur berada di Hong Kong. Siang hari kami jalan ke tempat-tempat tertentu, lalu menjelang sore kami kembali ke penginapan sampai pagi menjemput. Malam kedua Mas Pur berada di Hong Kong, terasa berat bagiku. Sebab, aku menyadari, esok pagi Mas Pur harus bersiap menuju bandara untuk kembali ke Korea. Kami melewatkan malam kedua, dan ternyata menjadi malam terakhir sampai saat ini sebagai malam perpisahan.
Hanya beberapa jam saja mata kami terpejam, karena sampai lewat tengah malam kami terjaga dalam kehangatan. Saat mengantar ke bandara pun, lambaian tangan Mas Pur ketika meninggalkan aku di pintu keberangkatan membuat batinku terasa berat. Entah mengapa, saat itu aku tidak bisa memahaminya. Senyum dan tatapan Mas Pur saat menolehkan wajahnya padaku ternyata menjadi senyum dan pandangan Mas Pur terakhir sampai saat ini. Setelah Mas Pur menghilang dari pandangan, aku pun kembali ke rumah majikan.
Ketika hari beranjak senja, tiba-tiba ponselku berdering. Sebuah pesan singkat masuk. ”Dik, aku sudah sampai Korea. Terima kasih ya cinta, semoga liburan yang akan datang kita bisa bersama lagi,” begitulah isi pesan singkat yang dikirim Mas Pur. Aku sempat membalas beberapa kali, dan balasanku terkirim dengan sukses. Namun, menjelang tengah malam, saat aku mencoba menelepon nomor Mas Pur, konfirmasi dari operator menyatakan nomor tersebut sedang tidak aktif. Begitu juta keesokan harinya, bahkan sampai sekarang, nomor tersebut sudah dipegang oleh orang lain.
Setelah tiga bulan berjalan, usai pertemuanku dengan Mas Pur, tanpa kusadari aku telah berbadan dua. Aku hamil, anak hasil hubunganku dengan Mas Pur. Hal yang memberatkan aku saat itu, sebagai bapak dari anak yang sedang aku kandung, Mas Pur sama sekali tidak bisa dihubungi untuk aku kabari. Ketika kandunganku memasuki usia lima bulan, aku sempat berencana menggugurkannya. Namun, oleh sahabat dekatku, aku ditegur untuk tidak menggugurkan kandungan.
Keji dan tidak manusiawi, itulah alasan temanku yang membuat aku tersadar dan termotivasi untuk menjaga kandungan hingga bayi tersebut lahir. Lantaran merasa akan repot jika melahirkan di Hong Kong, aku lalu memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Namun, setiba di kampung halaman, aku justru dihadapkan pada kenyataan pahit. Mengetahui kondisiku yang sedang berbadan dua, kedua orangtuaku tidak cuma marah. Mereka bahkan mengusirku, terlebih setelah mengetahui latar belakang kehamilanku. BERSAMBUNG.
Sumber:ApaKabarPlus