Lebih Dekat dengan Desa Tanggul Turus, Kampung TKI dengan Deretan Rumah Mentereng
Mencari kantong Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di wilayah Kecamatan Besuki, Kabupaten Tulungagung tidaklah sulit. Deretan rumah bertembok tinggi, berpagar besi mentereng dengan aneka cat dengan warna cerah salah satu tandanya. Sebagian orang menyebutnya kampung TKI alias lumbung para buruh migran.
Dari jumlah penduduk sekira 3.300 jiwa dengan 1.300 kepala keluarga, 400 jiwa di antaranya memilih mata pencaharian sebagai TKI. Bahkan, sudah dua kali menteri tenaga kerja era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertandang ke sana.
Desa itu bernama Tanggul Turus. Daerah pelosok selatan yang berpaut 40 kilometer dari Kantor Pemerintah Kabupaten Tulungagung.
Desa itu berpagar alam, ada bukit marmer di sisi timurnya. Secara sporadis bebatuan cadas itu juga bergugusan di sebelah barat desa. Tanah desa berwarna kemerahan. Tipikalnya liat, kering, tandus sekaligus miskin kandungan humus. Siang udara terasa panas, gerah serta berangin. Debu tipis mengepul beterbangan setiap angin berhembus.
"Tanggul Turus menyandang predikat desa minus atau tertinggal sebebelum tahun 1995," ujar Wiyono (55), salah satu warga setempat.
Tidak sedikit warga yang memperjuangkan isi perut dengan cara menjadi buruh tani. Beberapa di antaranya berladang di hutan yang mana proses cocok tanam sepenuhnya bergantung pada air hujan. Untuk menyambung hidup warga juga menjadi kuli pemecah batu. Sebab alam desa memang tidak memberi banyak pilihan.
Ketika itu, ketela pohon atau yang disebut warga sekitar gaplek, menjadi makanan idola. Menanak gaplek sebagai pengganti nasi menjadi pemandangan yang lumrah di sana. Maklum, butiran beras masih menjadi komoditi pangan yang mewah.
“Saat itu rumah-rumah warga masih banyak yang gedek (berdinding bambu),“ tutur Wiyono.
Di tahun 1995, keadaan perlahan berubah. Jumlah rumah berdinding bambu beratap ijuk mulai berkurang. Hidup miskin, menjadi canda getir sekaligus spirit warga untuk berbenah. Termotivasi penghasilan tinggi mereka menanggalkan pekerjaan buruh tani dan beralih ke buruh migran.
“Yang pertama menjadi tujuan adalah negara Arab Saudi. Mayoritas yang berangkat wanita (TKW),“ terangnya.
Dari buruh tani menjadi pembantu rumah tangga (PRT). Dari sebelumnya merawat tanaman di sawah giliran mengurus rumah. Pekerjaan PRT menyesuaikan latar belakang pendidikan yang rata-rata memang tidak sampai mengenyam pendidikan SMA. Sedangkan para pria, berprofesi sopir antar jemput anak sekolah majikan.
Walau demikian tidak sedikit pasutri yang bekerja di majikan yang sama. “Paling banyak menjadi pembantu rumah tangga. Sebab banyak yang tidak lulus SMA. Intinya cukup bisa baca tulis berangkat,“ papar Wiyono.
Warga juga melirik Malaysia, Hongkong, Taiwan, Korea, hingga Yunani. Para lelaki tidak lagi melulu menjadi sopir rumah tangga seperti di Arab Saudi. Mereka yang bertenaga kuat bisa berada di perkebunan sawit. Mendulang ringgit sekuat kuatnya di Negeri Jiran.
Saat Upah Minimum Kabupaten (UMK) masih Rp1 juta, para buruh migran sudah mengantongi penghasilan Rp6-7 juta per bulan. Tak heran, dinding bambu dalam sekejap dibongkar. Tembok kokoh tinggi menjulang giliran didirikan. Rumah yang dulunya sangat sederhana menjelma mentereng. Apalagi, di kultur masyarakat sekitar, rumah memiliki prestis tersendiri.
Atap yang sebelumnya asbes murah berganti genting pabrikan. Tidak sedikit yang berdiri dua lantai lengkap dengan pagar besi mewah. Untuk rumah yang masih belum rampung dibangun, menandakan pemiliknya belum lama ke luar negeri.
“Kesuksesan satu warga sebagai buruh migran mempengaruhi warga lain. Secara tidak langsung muncul kompetisi bagaimana warga berlomba-lomba ingin berubah lebih baik,“ terang Wiyono yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Tidak hanya membagusi rumah. Para buruh migran juga melengkapi isinya. Mulai mebelair hingga perabotan lainya. Tidak jarang kamar mandi di rumah buruh migran ini banyak yang memiliki fasilitas air dingin dan panas.
“Selain itu juga setiap rumah minimal memiliki satu kendaraan roda empat. Tidak jarang mereka memiliki kendaraan kategori mewah. Belum lagi membeli tanah di mana-mana. Mereka secara mendadak menjadi tuan tanah,“ jelasnya.