Refleksi: Masih Pilih Overstay dan “Paperan”?
HONG KONG – Saya ingin menceritakan sedikit kisah yang saya tahu tentang saudara dan teman kita, Hermin Zuningsih Kandar.
Ia dulu adalah buruh migran Indonesia, pekerja rumah tangga, di Hong Kong. Namun, sejak 2005 berstatus overstayed dan akhirnya bisa tinggal di Hong Kong dengan berbekal recognized paper alias menjadi warga “paperan”.
Menurut Konsul Kejaksaan Konsulat Jenderal Republik Indonesia Hong Kong, seseorang yang mengajukan recognized paper berarti minta perlindungan ke Pemerintah Hong Kong, meminta suaka, karena tidak lagi ingin kembali ke tanah airnya. Dalam konteks Hermin, itu bermakna, ia sudah tidak mau lagi alias menolak kembali ke Indonesia. Biasanya, mereka beralasan takut, karena jiwa dan nyawanya terancam jika pulang kampung. Alasan itu disampaikan, agar suaka dan permohonan perlindungannya dikabulkan. Demi menjunjung hak asasi manusia, Pemerintah Hong Kong mengabulkan dan memberikannya recognized paper.
“Orang paperan” tidak dibolehkan bekerja di Hong Kong. Selama menunggu ada negara lain yang bersedia menerimanya sebagai warga negara (tentu saja bukan Indonesia yang sudah dia tolak), Pemerintah Hong Kong memberikannya subsidi rutin berupa uang HK$1,500 untuk sewa rumah, plus bahan makanan pokok.
Dalam banyak kasus yang sempat saya liput, saudara-saudara dan kawan-kawan kita yang overstayed dan pemegang paper enggan untuk pulang. Termasuk, teman-teman dekat dua kawan kita yang menjadi korban pembunuhan sadis di Wan Chai tahun lalu; almarhumah Sumarti Ningsih dan Seneng Mujiasih. Meskipun, mereka mengaku traumatik. Bahkan, teman satu kosan almarhumah Seneng Mujiasih pun, yang mengaku ketakutan dan traumatik, tetap tidak mau pulang ke Tanah Air.
Mereka akhirnya mau dipulangkan kalau keadaannya sudah sangat mendesak, sudah tidak ada lagi jalan lain untuk bisa bertahan di Hong Kong. Saya perlu tegaskan, kalau betul-betul sudah tidak ada lagi jalan lain! Beberapa diantaranya, harus dipulangkan saat sudah tidak lagi bernyawa.
Hermin misalnya. Perempuan asal Plumpungrejo, Kademangan, Blitar, Jawa Timur, ini baru mau pulang setelah berbulan-bulan tergolek tidak berdaya, di rumah sakit Princess Margaret, Kwai Chung sejak 1 Januari 2015.
Sejak mendapatkan kabar dari rumah sakit, Pemerintah Indonesia melalui KJRI Hong Kong langsung berkoordinasi secara intensif dengan Imigrasi Hong Kong, yang meminta Pemerintah untuk memulangkan perempuan kelahiran 5 Agustus 1977 ini. Meskipun dia pernah menolak kembali ke Indonesia, dengan mengajukan paper, karena asal-usulnya memang dari Indonesia, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk memulangkannya.
Sejak dua minggu lalu, Pemerintah Indonesia memesan 7 kursi pesawat untuknya. Sebanyak 6 kursi untuk membaringkan Hermin di pesawat, sedangkan 1 kursi lagi untuk yang mengantarnya hingga ke rumah di kampung halaman. Jika kita asumsikan HK$3,000 per kursi, maka Negara Indonesia harus mengeluarkan biaya sebesar HK$21,000 (Rp35.700.000 dengan kurs HK$1 = Rp1.700) untuk memulangkannya. Hanya untuk membayar kursi pesawatnya saja!
Namun Tuhan berkehendak lain. Hermin ternyata tak kuasa melawan sakit infeksi otak yang dideritanya. Pada hari Minggu (7/6), ia menghembuskan nafas terakhir. Negara Indonesia pun tetap berkomitmen untuk memulangkan jenazahnya ke kampung halaman, sebagai bagian dari tanggung jawab dan kewajiban Negara terhadap warganya. Diperkirakan, biayanya lebih dari HK$34,000 (Rp57.800.000 dengan kurs HK$1 = Rp1.700).
Kisah Susanti lebih kompleks lagi. Sejak 30 September 2014, foto-fotonya yang sedang dirawat di rumah sakit Kwong Wah, Yau Ma Tei, menghebohkan Hong Kong. Di foto tersebut, perempuan asal Blitar, Jawa Timur, itu terlihat mengenaskan. Tangan dan kakinya kaku tak bisa bergerak. Ia juga tak bisa berbicara. Menurut cerita orang yang menyebarkan fotonya, dia hanya bisa minum susu, itupun dengan bantuan selang.
Ia telah dirawat di rumah sakit sejak 29 April 2014. Hingga saat ini, Susanti belum bisa dipulangkan. Padahal, sejak akhir tahun lalu Pemerintah Indonesia melalui KJRI Hong Kong sudah berusaha memulangkannya. Sebanyak 8 kursi pesawat pun sudah dipesan.
Sama dengan Hermin, Susanti juga BMI overtayed di Hong Kong, lalu menjadi “warga paperan”. Ia dilarikan ke rumah sakit karena kedapatan kejang-kejang dan kemudian tidak sadarkan diri di salah satu toilet di Tsim Sha Tsui. Kondisi yang dialami perempuan kelahiran 1984 ini merupakan efek konsumsi narkoba.
Yang membuat rumit pemulangannya, Susanti memiliki dua anak hasil hubungannya dengan pria Nepal di Hong Kong. Anak pertama lahir tahun 2013. Sedangkan anak kedua lahir beberapa hari sebelum dia ditemukan di toilet.
Sejak akhir tahun lalu, Pemerintah Indonesia sudah berusaha untuk memulangkannya. Bahkan, sudah berhasil mencabut kasus pidananya di Kepolisian Hong Kong. Namun Imigrasi Hong Kong hingga saat ini belum mengizinkan dia keluar dari Negeri Beton. Alasannya, status kedua anaknya harus clear terlebih dulu. Sebab, pria Nepal, sang ayah biologis, tidak rela dua anaknya diboyong ke Indonesia bersama Susanti. Si pria itu saat ini mendekam di penjara Hong Kong karena kasus narkoba.
Sebetulnya, baik Hermin maupun Susanti akan lebih mudah dipulangkan jika keadaan mereka belum berada di situasi “tidak ada jalan lain”. Dan, Negara Indonesia pun tidak perlu mengeluarkan biaya besar dan upaya luar biasa untuk bisa memulangkannya.
Lalu bagaimana dengan saudara-saudara dan kawan-kawan lain yang sekarang berstatus overstayed dan “paperan” di Hong Kong?
Saya sangat yakin, mereka pasti sudah tahu persis risiko overstayed dan menjadi “paperan”. Salah satunya, risiko yang harus diterima almarhumah Wiji Astutik Supardi alias Putri, korban pembunuhan sadis di Mong Kok yang diduga dilakukan pacarnya, warga negara Pakistan (South China Morning Post). Atau, risiko yang harus diterima almarhumah Seneng Mujiasih yang dimutilasi di Wan Chai, tahun lalu.
Mengapa risiko-risiko itu menjadi sangat dekat dengan kehidupan saudara-saudara dan kawan-kawan kita yang overstayed dan “paperan”? Sebab, overstay melanggar hukum Hong Kong. Otomatis, mereka tidak bisa bekerja secara legal. Begitu pun yang “paperan”. Sedangkan di saat yang sama, banyaknya kebutuhan hidup harus tetap dipenuhi. Kecenderungannya, apapun akan dilakukan untuk mendapatkan penghasilan.
Untuk kasus yang paling akhir terjadi, menurut berita-berita di media lokal Hong Kong, Wiji Astutik sering disiksa oleh pacarnya yang juga pencari suaka. Pacarnya bahkan beberapa kali berurusan dengan polisi akibat perbuatannya menyiksa perempuan asal Malang, Jawa Timur, ini. Kesaksian serupa juga diungkap beberapa teman dekat almarhumah. Keprihatinan lain, Wiji harus tinggal di bedeng kumuh tak beratap selama dia menjadi “paperan”. Diduga, ia sudah tinggal di tempat itu bertahun-tahun, sejak overstayed sekitar 11 tahun lalu.
Setelah mengetahui segala risikonya, saudara-saudara dan kawan-kawan yang overstayed dan “paperan” bisa memilih untuk pulang sekarang, nanti, atau tidak pulang sama sekali. Itu hak mereka. Saya hanya berpesan, pulanglah selagi bisa pulang tanpa harus memaksa Negara Indonesia mengeluarkan biaya sangat besar dan upaya luar biasa, yaitu saat kalian terpaksa harus pulang karena tidak ada lagi jalan lain untuk bertahan di Hong Kong.
Apakah bisa? Sangat bisa!
Bukan hanya bisa. Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Hong Kong dengan senang hati membantu pemulangan kalian. Datanglah ke Indonesia Building, kantor KJRI. Dengan begitu, kalian berkontribusi membantu Negara Indonesia untuk menghemat puluhan ribu hingga ratusan ribu Hong Kong dolar atau ratusan juta rupiah uang yang diperoleh dengan susah payah dari pajak rakyat Indonesia. Uang yang dihemat bisa dimanfaatkan buat memberikan pelayanan dan bantuan untuk rakyat miskin di negara kita.
Kalian bisa menghubungi nomor hotline 67532750 (Imigrasi KJRI Hong Kong), atau 68942799 dan 67730466 (hotline KJRI Hong Kong).
Bagaimana dengan yang telah lama overstayed dan menjadi “paperan” di sini, lalu memiliki anak tanpa dokumen? Bisakah sang anak ikut pulang juga?
Jawabnya: bisa!
Apabila membutuhkan pendampingan dan bantuan, lembaga seperti PathFinders dapat memberikannya. Kalian bisa menghubungi nomor hotline 51904886.
Pilihan ada di tangan kalian: MASIHKAH MEMILIH OVERSTAYED DAN MENJADI “PAPERAN”?
Sumber:Apa Kabar Plus
Ia dulu adalah buruh migran Indonesia, pekerja rumah tangga, di Hong Kong. Namun, sejak 2005 berstatus overstayed dan akhirnya bisa tinggal di Hong Kong dengan berbekal recognized paper alias menjadi warga “paperan”.
Menurut Konsul Kejaksaan Konsulat Jenderal Republik Indonesia Hong Kong, seseorang yang mengajukan recognized paper berarti minta perlindungan ke Pemerintah Hong Kong, meminta suaka, karena tidak lagi ingin kembali ke tanah airnya. Dalam konteks Hermin, itu bermakna, ia sudah tidak mau lagi alias menolak kembali ke Indonesia. Biasanya, mereka beralasan takut, karena jiwa dan nyawanya terancam jika pulang kampung. Alasan itu disampaikan, agar suaka dan permohonan perlindungannya dikabulkan. Demi menjunjung hak asasi manusia, Pemerintah Hong Kong mengabulkan dan memberikannya recognized paper.
“Orang paperan” tidak dibolehkan bekerja di Hong Kong. Selama menunggu ada negara lain yang bersedia menerimanya sebagai warga negara (tentu saja bukan Indonesia yang sudah dia tolak), Pemerintah Hong Kong memberikannya subsidi rutin berupa uang HK$1,500 untuk sewa rumah, plus bahan makanan pokok.
Dalam banyak kasus yang sempat saya liput, saudara-saudara dan kawan-kawan kita yang overstayed dan pemegang paper enggan untuk pulang. Termasuk, teman-teman dekat dua kawan kita yang menjadi korban pembunuhan sadis di Wan Chai tahun lalu; almarhumah Sumarti Ningsih dan Seneng Mujiasih. Meskipun, mereka mengaku traumatik. Bahkan, teman satu kosan almarhumah Seneng Mujiasih pun, yang mengaku ketakutan dan traumatik, tetap tidak mau pulang ke Tanah Air.
Mereka akhirnya mau dipulangkan kalau keadaannya sudah sangat mendesak, sudah tidak ada lagi jalan lain untuk bisa bertahan di Hong Kong. Saya perlu tegaskan, kalau betul-betul sudah tidak ada lagi jalan lain! Beberapa diantaranya, harus dipulangkan saat sudah tidak lagi bernyawa.
Hermin misalnya. Perempuan asal Plumpungrejo, Kademangan, Blitar, Jawa Timur, ini baru mau pulang setelah berbulan-bulan tergolek tidak berdaya, di rumah sakit Princess Margaret, Kwai Chung sejak 1 Januari 2015.
Sejak mendapatkan kabar dari rumah sakit, Pemerintah Indonesia melalui KJRI Hong Kong langsung berkoordinasi secara intensif dengan Imigrasi Hong Kong, yang meminta Pemerintah untuk memulangkan perempuan kelahiran 5 Agustus 1977 ini. Meskipun dia pernah menolak kembali ke Indonesia, dengan mengajukan paper, karena asal-usulnya memang dari Indonesia, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk memulangkannya.
Sejak dua minggu lalu, Pemerintah Indonesia memesan 7 kursi pesawat untuknya. Sebanyak 6 kursi untuk membaringkan Hermin di pesawat, sedangkan 1 kursi lagi untuk yang mengantarnya hingga ke rumah di kampung halaman. Jika kita asumsikan HK$3,000 per kursi, maka Negara Indonesia harus mengeluarkan biaya sebesar HK$21,000 (Rp35.700.000 dengan kurs HK$1 = Rp1.700) untuk memulangkannya. Hanya untuk membayar kursi pesawatnya saja!
Namun Tuhan berkehendak lain. Hermin ternyata tak kuasa melawan sakit infeksi otak yang dideritanya. Pada hari Minggu (7/6), ia menghembuskan nafas terakhir. Negara Indonesia pun tetap berkomitmen untuk memulangkan jenazahnya ke kampung halaman, sebagai bagian dari tanggung jawab dan kewajiban Negara terhadap warganya. Diperkirakan, biayanya lebih dari HK$34,000 (Rp57.800.000 dengan kurs HK$1 = Rp1.700).
Kisah Susanti lebih kompleks lagi. Sejak 30 September 2014, foto-fotonya yang sedang dirawat di rumah sakit Kwong Wah, Yau Ma Tei, menghebohkan Hong Kong. Di foto tersebut, perempuan asal Blitar, Jawa Timur, itu terlihat mengenaskan. Tangan dan kakinya kaku tak bisa bergerak. Ia juga tak bisa berbicara. Menurut cerita orang yang menyebarkan fotonya, dia hanya bisa minum susu, itupun dengan bantuan selang.
Ia telah dirawat di rumah sakit sejak 29 April 2014. Hingga saat ini, Susanti belum bisa dipulangkan. Padahal, sejak akhir tahun lalu Pemerintah Indonesia melalui KJRI Hong Kong sudah berusaha memulangkannya. Sebanyak 8 kursi pesawat pun sudah dipesan.
Sama dengan Hermin, Susanti juga BMI overtayed di Hong Kong, lalu menjadi “warga paperan”. Ia dilarikan ke rumah sakit karena kedapatan kejang-kejang dan kemudian tidak sadarkan diri di salah satu toilet di Tsim Sha Tsui. Kondisi yang dialami perempuan kelahiran 1984 ini merupakan efek konsumsi narkoba.
Yang membuat rumit pemulangannya, Susanti memiliki dua anak hasil hubungannya dengan pria Nepal di Hong Kong. Anak pertama lahir tahun 2013. Sedangkan anak kedua lahir beberapa hari sebelum dia ditemukan di toilet.
Sejak akhir tahun lalu, Pemerintah Indonesia sudah berusaha untuk memulangkannya. Bahkan, sudah berhasil mencabut kasus pidananya di Kepolisian Hong Kong. Namun Imigrasi Hong Kong hingga saat ini belum mengizinkan dia keluar dari Negeri Beton. Alasannya, status kedua anaknya harus clear terlebih dulu. Sebab, pria Nepal, sang ayah biologis, tidak rela dua anaknya diboyong ke Indonesia bersama Susanti. Si pria itu saat ini mendekam di penjara Hong Kong karena kasus narkoba.
Sebetulnya, baik Hermin maupun Susanti akan lebih mudah dipulangkan jika keadaan mereka belum berada di situasi “tidak ada jalan lain”. Dan, Negara Indonesia pun tidak perlu mengeluarkan biaya besar dan upaya luar biasa untuk bisa memulangkannya.
Lalu bagaimana dengan saudara-saudara dan kawan-kawan lain yang sekarang berstatus overstayed dan “paperan” di Hong Kong?
Saya sangat yakin, mereka pasti sudah tahu persis risiko overstayed dan menjadi “paperan”. Salah satunya, risiko yang harus diterima almarhumah Wiji Astutik Supardi alias Putri, korban pembunuhan sadis di Mong Kok yang diduga dilakukan pacarnya, warga negara Pakistan (South China Morning Post). Atau, risiko yang harus diterima almarhumah Seneng Mujiasih yang dimutilasi di Wan Chai, tahun lalu.
Mengapa risiko-risiko itu menjadi sangat dekat dengan kehidupan saudara-saudara dan kawan-kawan kita yang overstayed dan “paperan”? Sebab, overstay melanggar hukum Hong Kong. Otomatis, mereka tidak bisa bekerja secara legal. Begitu pun yang “paperan”. Sedangkan di saat yang sama, banyaknya kebutuhan hidup harus tetap dipenuhi. Kecenderungannya, apapun akan dilakukan untuk mendapatkan penghasilan.
Untuk kasus yang paling akhir terjadi, menurut berita-berita di media lokal Hong Kong, Wiji Astutik sering disiksa oleh pacarnya yang juga pencari suaka. Pacarnya bahkan beberapa kali berurusan dengan polisi akibat perbuatannya menyiksa perempuan asal Malang, Jawa Timur, ini. Kesaksian serupa juga diungkap beberapa teman dekat almarhumah. Keprihatinan lain, Wiji harus tinggal di bedeng kumuh tak beratap selama dia menjadi “paperan”. Diduga, ia sudah tinggal di tempat itu bertahun-tahun, sejak overstayed sekitar 11 tahun lalu.
Setelah mengetahui segala risikonya, saudara-saudara dan kawan-kawan yang overstayed dan “paperan” bisa memilih untuk pulang sekarang, nanti, atau tidak pulang sama sekali. Itu hak mereka. Saya hanya berpesan, pulanglah selagi bisa pulang tanpa harus memaksa Negara Indonesia mengeluarkan biaya sangat besar dan upaya luar biasa, yaitu saat kalian terpaksa harus pulang karena tidak ada lagi jalan lain untuk bertahan di Hong Kong.
Apakah bisa? Sangat bisa!
Bukan hanya bisa. Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Hong Kong dengan senang hati membantu pemulangan kalian. Datanglah ke Indonesia Building, kantor KJRI. Dengan begitu, kalian berkontribusi membantu Negara Indonesia untuk menghemat puluhan ribu hingga ratusan ribu Hong Kong dolar atau ratusan juta rupiah uang yang diperoleh dengan susah payah dari pajak rakyat Indonesia. Uang yang dihemat bisa dimanfaatkan buat memberikan pelayanan dan bantuan untuk rakyat miskin di negara kita.
Kalian bisa menghubungi nomor hotline 67532750 (Imigrasi KJRI Hong Kong), atau 68942799 dan 67730466 (hotline KJRI Hong Kong).
Bagaimana dengan yang telah lama overstayed dan menjadi “paperan” di sini, lalu memiliki anak tanpa dokumen? Bisakah sang anak ikut pulang juga?
Jawabnya: bisa!
Apabila membutuhkan pendampingan dan bantuan, lembaga seperti PathFinders dapat memberikannya. Kalian bisa menghubungi nomor hotline 51904886.
Pilihan ada di tangan kalian: MASIHKAH MEMILIH OVERSTAYED DAN MENJADI “PAPERAN”?
Sumber:Apa Kabar Plus