Heboh Radikalisme Di Negeri Beton
Hong Kong-Publik Indonesia di Hong Kong Heboh, Pemicunya, hasil
laporan IPAC – sebuah lembaga kajian konflik berbasis di Jakarta – yang
menyebut adanya sejumlah pekerja migran Indonesia di Hong Kong yang
tersangkut paham radikal dan menjadi ekstrimis. Apa persisnya bunyi
laporan yang menyentak perhatian itu ?
Hong Kong sedang diguncang isu radikalisme. Berbagai media massa, baik nasional maupun internasional, riuh memberitakan adanya puluhan pekerja migran Indonesia (PMI) di Negeri Beton yang teradikalisasi.
”Pacari Militan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah), Puluhan TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di Hong Kong Teradikalisasi,” demikian judul berita CNN Indonesia, Kamis 27 Juli 2017.
Sehari sebelumnya, Rabu, 26 Juli, salah satu media terbesar di Hong Kong, South China Morning Post, juga memuat berita senada. Judulnya, ”Sejumlah Pekerja Rumah Tangga (asal) Indonesia Teradikalisasi Ketika di Hong Kong, Laporan Memperingatkan.”
Berita-berita tersebut mengutip sebuah laporan yang dikeluarkan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC). IPAC sendiri merupakan lembaga yang didirikan pada 2013, berbasis di Jakarta.
Lembaga yang memfokuskan kegiatan pada misi melakukan pemetaan konflik di Indonesia ini dibidani oleh beberapa tokoh yang tidak asing di dunia sosio-politik Indonesia. Yakni, Sydney Jones, Azyumardi Azra, Goenawan Mohamad, Todung Mulya Lubis, Aristides Katoppo, Bivitri Susanti, dan Endy Bayuni.
Dalam laporan tertanggal 26 Juli 2017 yang ditulis Nava Nuraniyah, IPAC melansir, penangkapan dua perempuan eks-PMI pada 2016 yang mencoba melakukan aksi peledakan bom bunuh diri menjadi bukti rentannya PMI terhadap radikalisasi. Diduga, banyak PMI di kawasan Asia Timur yang terlibat kegiatan pro- ISIS. Mulai dari penyediaan dana hingga menikahi para pejuang ISIS secara online.
”Laporan itu menyebutkan, kesepian dan perasaan tidak cocok dengan lingkungan baru disebut sebagai alasan utama para perempuan ini akhirnya terjerat terorisme. Kecenderungan ini pertama kali terlihat dalam diri dua TKI perempuan yang ditahan atas tuduhan perencanaan bom bunuh diri di Bali dan Jakarta pada Desember 2016 lalu,” tulis CNN Indonesia
Dari penyelidikan mendalam terhadapkedua perempuan ini, ditemukan satu kesamaan pendapat dalam diri sebagian PMI korban radikalisasi mengenai militan ISIS, yang membuat mereka rela melakukan apa pun demi kekasihnya tersebut. Mereka melihat para militan sebagai pahlawan hingga akhirnya rela menawarkan bantuan finansial dan logistik. Beberapa dari mereka membangun hubungan hubungan personal dan membantu para militan ke Suriah, hingga berupaya menyusul mereka ke negeri konflik berdarah tersebut.
”Selain melalui jagat maya, para TKI itu biasanya bersentuhan dengan dunia terorisme melalui pertemuan komunitas-komunitas Muslim di Hong Kong,” ungkap Nava dalam laporannya untuk IPAC.
Yang paling mengejutkan, laporan tersebut bahkan merilis dugaan adanya 50 PMI radikal di Asia Timur terlibat dalam kelompok ekstremis. Sebanyak 45 PMI di antaranya, di Hong Kong! Disebutkan di laporan IPAC, tiga PMI Hong Kong, yakni Ayu, Ghalia, dan Ummu Yasir, masing- masing membawa teman, bergabung dalam kelompok diskusi yang dibentuk setelah ISIS mendeklarasikan kekhalifahan pada 2014. Masing-masing dari mereka melakukan kegiatan penyaluran dana dan mengatur emigrasi para jihadis Indonesia dari Hong Kong menuju Suriah.
Hingga 2017, Ayu dikatakan masih bekerja di Hong Kong. Sedangkan Ummu Yasir dan Ghalia telah dideportasi dari Turki dan Hong Kong setelah berupaya memasuki Suriah. Dalam laporannya, IPAC memuat beberapa rekomendasi dan kesimpulan. Pertama, jangan sampai komunitas PMI radikal di Hong Kong bertambah besar. Untuk itu, perlu upaya bersama untuk mengatasi hal ini.
Kedua, perlunya pre-departure training calon PMI. Training itu diharapkan memuat informasi tentang bahaya eksploitasi yang dilakukan melalui kekasih online atau guru agama ekstrem.
”Pemerintah harus memastikan para migran ini menerima informasi mengenai hak dan risiko mereka dieksploitasi, termasuk dari para kekasih di dunia maya dan para ustadz yang mengambil keuntungan dari kebutuhan keagamaan dan emosional TKI,” tulis IPAC dalam laporannya.
Ketiga, perlunya upaya bersama Pemerintah Hong Kong, Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI), dan para tokoh agama arus utama (mainstream) untuk memastikan ustadzustadz yang menyebar kebencian dan kekerasan tidak mendapatkan kesempatan berdak-wah di Hong Kong. Keempat, pentingnya peran kelompok dakwah agar anggotanya saling mengawasi dan mengingatkan.
Kelima, pentingnya peran pemimpin dan pengajar kelompok-kelompok dakwah untuk mencegah dan menarik anggotanya keluar dari kelompok ekstrem.
Hong Kong sedang diguncang isu radikalisme. Berbagai media massa, baik nasional maupun internasional, riuh memberitakan adanya puluhan pekerja migran Indonesia (PMI) di Negeri Beton yang teradikalisasi.
”Pacari Militan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah), Puluhan TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di Hong Kong Teradikalisasi,” demikian judul berita CNN Indonesia, Kamis 27 Juli 2017.
Sehari sebelumnya, Rabu, 26 Juli, salah satu media terbesar di Hong Kong, South China Morning Post, juga memuat berita senada. Judulnya, ”Sejumlah Pekerja Rumah Tangga (asal) Indonesia Teradikalisasi Ketika di Hong Kong, Laporan Memperingatkan.”
Berita-berita tersebut mengutip sebuah laporan yang dikeluarkan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC). IPAC sendiri merupakan lembaga yang didirikan pada 2013, berbasis di Jakarta.
Lembaga yang memfokuskan kegiatan pada misi melakukan pemetaan konflik di Indonesia ini dibidani oleh beberapa tokoh yang tidak asing di dunia sosio-politik Indonesia. Yakni, Sydney Jones, Azyumardi Azra, Goenawan Mohamad, Todung Mulya Lubis, Aristides Katoppo, Bivitri Susanti, dan Endy Bayuni.
Dalam laporan tertanggal 26 Juli 2017 yang ditulis Nava Nuraniyah, IPAC melansir, penangkapan dua perempuan eks-PMI pada 2016 yang mencoba melakukan aksi peledakan bom bunuh diri menjadi bukti rentannya PMI terhadap radikalisasi. Diduga, banyak PMI di kawasan Asia Timur yang terlibat kegiatan pro- ISIS. Mulai dari penyediaan dana hingga menikahi para pejuang ISIS secara online.
”Laporan itu menyebutkan, kesepian dan perasaan tidak cocok dengan lingkungan baru disebut sebagai alasan utama para perempuan ini akhirnya terjerat terorisme. Kecenderungan ini pertama kali terlihat dalam diri dua TKI perempuan yang ditahan atas tuduhan perencanaan bom bunuh diri di Bali dan Jakarta pada Desember 2016 lalu,” tulis CNN Indonesia
Dari penyelidikan mendalam terhadapkedua perempuan ini, ditemukan satu kesamaan pendapat dalam diri sebagian PMI korban radikalisasi mengenai militan ISIS, yang membuat mereka rela melakukan apa pun demi kekasihnya tersebut. Mereka melihat para militan sebagai pahlawan hingga akhirnya rela menawarkan bantuan finansial dan logistik. Beberapa dari mereka membangun hubungan hubungan personal dan membantu para militan ke Suriah, hingga berupaya menyusul mereka ke negeri konflik berdarah tersebut.
”Selain melalui jagat maya, para TKI itu biasanya bersentuhan dengan dunia terorisme melalui pertemuan komunitas-komunitas Muslim di Hong Kong,” ungkap Nava dalam laporannya untuk IPAC.
Yang paling mengejutkan, laporan tersebut bahkan merilis dugaan adanya 50 PMI radikal di Asia Timur terlibat dalam kelompok ekstremis. Sebanyak 45 PMI di antaranya, di Hong Kong! Disebutkan di laporan IPAC, tiga PMI Hong Kong, yakni Ayu, Ghalia, dan Ummu Yasir, masing- masing membawa teman, bergabung dalam kelompok diskusi yang dibentuk setelah ISIS mendeklarasikan kekhalifahan pada 2014. Masing-masing dari mereka melakukan kegiatan penyaluran dana dan mengatur emigrasi para jihadis Indonesia dari Hong Kong menuju Suriah.
Hingga 2017, Ayu dikatakan masih bekerja di Hong Kong. Sedangkan Ummu Yasir dan Ghalia telah dideportasi dari Turki dan Hong Kong setelah berupaya memasuki Suriah. Dalam laporannya, IPAC memuat beberapa rekomendasi dan kesimpulan. Pertama, jangan sampai komunitas PMI radikal di Hong Kong bertambah besar. Untuk itu, perlu upaya bersama untuk mengatasi hal ini.
Kedua, perlunya pre-departure training calon PMI. Training itu diharapkan memuat informasi tentang bahaya eksploitasi yang dilakukan melalui kekasih online atau guru agama ekstrem.
”Pemerintah harus memastikan para migran ini menerima informasi mengenai hak dan risiko mereka dieksploitasi, termasuk dari para kekasih di dunia maya dan para ustadz yang mengambil keuntungan dari kebutuhan keagamaan dan emosional TKI,” tulis IPAC dalam laporannya.
Ketiga, perlunya upaya bersama Pemerintah Hong Kong, Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI), dan para tokoh agama arus utama (mainstream) untuk memastikan ustadzustadz yang menyebar kebencian dan kekerasan tidak mendapatkan kesempatan berdak-wah di Hong Kong. Keempat, pentingnya peran kelompok dakwah agar anggotanya saling mengawasi dan mengingatkan.
Kelima, pentingnya peran pemimpin dan pengajar kelompok-kelompok dakwah untuk mencegah dan menarik anggotanya keluar dari kelompok ekstrem.