TKI di Malaysia: 'Terpisah dari Anak, Hingga Nyaris Mau Bunuh diri...'

Dua di antara tenaga kerja tersebut, Catur dan Supranti yang bekerja di Malaysia, berbagi pengalaman sebagai ibu yang mereka katakan "terpaksa" meninggalkan anak-anak selama bertahun-tahun agar mereka hidup lebih baik dibandingkan ibu mereka.
Di sebuah taman kecil, tak jauh dari jalur rel kereta ringan di kawasan Puchong, Johor, Malaysia, Catur tak kuasa menahan air mata ketika menceritakan bagaimana ia harus mencari nafkah setelah ibunya meninggal dunia.
Usianya pada saat itu delapan tahun dan duduk di sekolah dasar di Malang, Jawa Timur. Sekitar 20 tahun silam ketika Catur berusia belasan tahun, ia merantau ke Malaysia sebagai lulusan SD.
"Saya pernah kerja menyapu di pinggir jalan, bekerja sebagai pembersih, lantas sebagai tukang las.
"Bos saya pun kagum. 'Mengapa saya ada kemauan belajar mengelas padahal saya seorang perempuan?' Saya hanya jawab 'kenapa orang laki boleh buat, saya tak boleh buat?"
Catur kemudian mengalami kecelakaan lalu lintas yang memaksanya berhenti menjadi tukang las karena dokter memintanya untuk tidak mengangkat beban berat atau bekerja berat.
Ia pun pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga selama satu tahun dan delapan bulan. Selama itu pula, akunya, ia disekap oleh majikan.
"Lalu saya dengar kabar anak saya yang pertama jatuh dan kaki patah. Pikiran saya kacau. Saya minta cuti dua minggu saja tidak dikasih. Saya mau kirim uang tidak dikasih. Saya berpikir untuk bunuh diri," kenangnya.
"Sebab saya merasa bersalah, saya sudah menjadi ibu tapi waktu anak saya membutuhkan saya, saya tak bisa melihatnya, tak bisa memeluknya. Dari segi keuangan pun saya tak bisa tolong."
Klaim penyekapan itu sulit diverifikasi, namun kasus-kasus seperti itu jamak dijumpai di Malaysia.
"Kami masih menghadapi pengaduan-pengaduan dari warga kita yang melarikan diri dari majikan, salah satunya karena tidak boleh keluar dan lain sebagainya. Masih ada kasus-kasus itu," kata Kepala Fungsi Konsuler KBRI di Kuala Lumpur, Yusron B. Ambary.
Belakangan Catur merasa jauh lebih baik.
"Pekerjaan saya sekarang sebagai supervisor (mandor) pembersih di suatu kompleks olahraga di Malaysia," ujarnya.
Kini gajinya sebagai mandor yang membawahi sembilan pembersih, semuanya tenaga kerja dari Indonesia, sekitar Rp5 juta per bulan.
Melawan rasa pahit
Namun, kata Catur, biaya hidup di Malaysia bertambah mahal antara lain untuk sewa kamar dan transportasi. Setiap bulan pula, empat putra-putrinya di Indonesia menunggu kiriman uang.
Anaknya yang sulung kini berusia 21 tahun dan yang bungsu 10 tahun.
Mereka tinggal di tiga kota berbeda-beda di bawah asuhan anggota keluarga yang berbeda-beda pula dari keluarga suami pertama dan suami yang kedua. Praktis sepanjang hidup mereka, Catur hanya bisa menghabiskan waktu bersama mereka satu hingga dua bulan per tahun di Indonesia.
"Memang sangat tertekan sebab saya merantau tujuan saya untuk membuat anak hidup lebih baik daripada kita. Dulu sangat susah untuk berhubungan.
"Ekonomi sekarang lebih baik, apa yang diminta anak saya bisa penuhi. Misalnya, dulu dia tidak punya telepon genggam, saya harus melalui saudara kalau mau berhubungan. Sekarang bisa langsung berkomunikasi setiap hari lewat WhatsApp atau Facebook," kata Catur sambil berurai air mata.
Kepedihan serupa juga dialami oleh Supranti, tenaga kerja asal Tulungagung, Jawa Timur. Ia merantau ke luar negeri sejak 1997, ketika anak pertamanya baru berusia lima tahun.
"Awal mula sangat sedih karena bagaimanapun anak itu adalah belahan jiwa kita, jantung hati kita, sedangkan kita berjuang untuk anak, jadi kita terpaksa menerima hakikat, kenyataan supaya anak kita nanti bisa hidup lebih baik daripada kita. Kita harus berjuang untuk melawan rasa hati yang pahit."
Berhubungan rutin
Setelah
sempat berpindah-pindah kerja, selama sembilan tahun terakhir Supranti
bekerja dengan sebuah keluarga Malaysia yang tinggal di kondominium
elite di kawasan Bukit Bintang, pusat kota Kuala Lumpur.Dengana fasilitas internet gratis, ia kerap memperlihatkan tugas-tugasnya sebagai pekerja di domestik.
"Majikan saya mengajari saya untuk menunjukkan kepada anak-anak bagaimana susahnya mencari duit untuk sekolah mereka. Dulu anak saya banyak melawan, saya tunjukkan 'Ibu kerja menggosok baju satu bakul belum selesai, dua jam berdiri dan kadang mencuci 10 kamar mandi."
Putri Supranti yang sulung sudah berkeluarga dan sudah punya anak pula. Adapun anak bungsunya ia tinggalkan di bawah asuhan tetangga ketika usia anak itu baru berusia sembilan bulan.
"Anak yang nomor tiga sempat dijaga oleh tetangga saya selama dua tahun sejak saya tinggalkan ketika umurnya sembilan bulan. Lepas itu, saya dan suami saya sepakat untuk mengambil dia karena kami rasa suami saya sudah bisa mengurusnya. Jadi suami menjaga anak kita yang nomor tiga sampai sekarang."
Berkat kemajuan teknologi, ungkap perempuan kelahiran tahun 1976 ini, jarak fisik yang memisahkannya dengan anak-anak di kampung halaman di Tulungagung tidak serta merta membuat hubungan emosional renggang.
"Sehari-hari majikan mengizinkan saya membat video call dengan anak justru ketika saya kerja. Kalau yang besar agar mereka rajin belajar. Kalau yang kecil biar tahu kalau ibu dia meninggalkannya bukan karena tak suka dia.
"Itu supaya dia menilai saya sayang dia, supaya dia bisa minum susu, makan enak, bisa jalan-jalan. Tak seperti kawan-kawannya, meskipun dia tak ada ibu, tak apa. Yang penting dia senang, pikirannya tak negatif terhadap saya. Kalau waktu tidur saya video call dulu, dia tengah baring. Jadi keseharian dia itu tampak," ungkap Supranti.
Simak selengkapnya Video wawancara dengan Catur di sini http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39031070