Kisah Mantan TKI di Hongkong, Pulang Kampung Buka Toko Kelontong
Taiwan- Bentakan dari sang majikan adalah makanan sehari-hari bagi Sri Wiratmi selama dua tahun terakhirnya menjadi BMI di Hongkong. Tidak tahan tiap hari mendapat perlakuan yang menyakitkan hati, pada Juni 2014, ibu dua anak itu bertekad mengakhiri petualangannya di Hongkong selama hampir sepuluh tahun.
Kini, Sri membuka usaha toko kelontong Sekar Sari di rumahnya di tepi Jalan Ampel - Simo, Tawangsari RT 3 RW 3, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali. “Omzetnya tidak seberapa, yang penting cukup buat makan sehari-hari,” kata Sri saat ditemui Tempo pada Jumat, 21 April 2017.
Rumah Sri yang berdiri di atas lahan 40 x 12 meter memang terlihat lebih mentereng dibandingkan rumah di sekitarnya. Rumah berlantai dua itu juga dilengkapi garasi berisi satu mobil kijang. “Selain untuk biaya merawat anak, sebagian uang yang saya kirimkan tiap bulan juga untuk merenovasi rumah sekaligus membangun toko,” kata Sri.
Di kampung yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Semarang itu, Sri tinggal bersama suami, Mardi Siswoyo, 47 tahun, dan anak bungsunya, Tridane Bayu Syahputra, yang baru duduk di bangku kelas 6 SD. Adapun anak sulungnya, Aditya Putra Perdana, 22 tahun, kini bekerja di sebuah perusahaan peleburan logam di Jepang sejak 2014.
Faktor ekonomi adalah satu-satunya alasan yang menyebabkan Sri nekat mengadu nasib di Hongkong pada akhir 2004. “Kalau warung saya dulu tidak dibobol maling, mungkin saya tidak akan pernah menginjakkan kaki di Hongkong,” kata Sri mengenangkan masa lalunya.
Setelah menikah pada 1994, Sri dan Mardi merantau ke Jakarta untuk menjadi buruh pabrik. Karena harus merawat anak pertamanya, pada 1997, Sri dan Mardi memutuskan pulang kampung ke Boyolali dan mulai merintis usaha toko kecil-kecilan di rumahnya.
Lima tahun berselang, 2002, bencana itu terjadi. Toko kelontong yang menjadi sumber mata pencarian keluarga kecil itu disatroni pencuri. Seluruh barang dagangannya ludes tanpa sisa. “Sejak itu saya benar-benar jatuh,” kata Sri. Akhirnya Mardi memboyong Sri dan anaknya pulang ke rumah orangtuanya di Trenggalek, Jawa Timur.
Di Trenggalek, Sri dan Mardi berjualan tahu buatan kakak Mardi. “Bermacam usaha sudah saya coba. Mulai dari jualan tahu sampai buat kerupuk dan saya jual sendiri,” kata Sri. Di Trenggalek pula Sri mulai terpesona oleh kemewahan hidup seorang tetangga yang bekerja sebagai TKI di Hongkong.
Setelah bertanya kesana kemari, Sri pun membulatkan tekad menjadi TKI di Hongkong melalui salah satu agen di Jakarta. “Sebenarnya saya juga mendapat tawaran jadi TKI di Jepang. Tapi biayanya mahal. Setelah kami berembug, akhirnya istri saya yang berangkat,” kata Mardi.
Tiga bulan berselang setelah mendaftar sebagai TKI, di pengujung 2004, Sri terbang ke Hongkong meninggalkan anaknya yang saat itu belum genap berumur satu tahun. “Saya berangkat tanpa bekal keterampilan apapun, hanya mengandalkan buku percakapan dasar bahasa mandarin dan kamus untuk berkomunikasi dengan majikan,” kata Sri.
Kontrak kerja pertama Sri di Hongkong sebagai pengasuh anak (babby sitter) pada sebuah keluarga yang bermukim di Distrik Sha Tin. Gajinya 27 HKD (Dolar Hong Kong) per hari (Kurs HKD saat ini Rp 1.711). Lantaran keberangkatannya ke Hongkong dibiayai sponsor, selama tujuh bulan, gaji Sri dipotong 9 HKD per hari. Karena diperlakukan dengan baik, Sri memperpanjang kontraknya satu kali (total empat tahun).
Namun, dari kontrak yang kedua, Sri tidak menikmati gajinya karena menjadi korban penipuan oleh temannya sesama TKI asal Malang, Jawa Timur. “Dia pinjam paspor saya untuk agunan utang di bank. Baru mengangsur dua kali, dia kabur. Terpaksa saya harus melunasi tunggakannya. Total mencapai Rp 30 juta,” kata Sri.
Bosan menjadi pengasuh anak, pada tahun kelimanya di Distrik Tha Sin, Sri berganti majikan menjadi asisten rumah tangga biasa dengan gaji lebih tinggi, 34 HKD per hari. Sama dengan majikan pertamanya, Sri diperlakukan dengan baik sehingga dia memperpanjang kontrak satu kali lagi (total empat tahun).
Kepedihan menjadi TKI baru dirasakan Sri setelah kembali menjadi pengasuh anak pada majikan yang ketiga. “Majikan ketiga ini entah tinggal di distrik mana. Saya sudah tidak mau mengingat alamatnya,” kata Sri. Meski belum pernah menerima perlakuan kasar, Sri merasa tertekan karena gerak-geriknya selalu dicurigai dan pekerjaannya tidak pernah dihargai.
“Di rumah itu majikan sampai memasang delapan kamera CCTV, mulai dari pintu gerbang, pintu depan rumah, sampai dua kamera di dapur. Saya juga dilarang menyentuh anaknya, padahal status saya babby sitter. Dibentak itu makanan sehari-hari, padahal hanya gara-gara sedikit debu saat majikan menyentuh lantai dengan tisu ,” kata Sri.
Untuk makan sehari-hari, Sri juga harus keluar rumah untuk membeli sendiri di warung. Kendati demikian, Sri tetap mendapatkan seluruh haknya, seperti gaji serta satu hari libur tiap pekan. “Tiap libur saya ikut pelatihan wirausaha yang diselenggarakan Bank Mandiri. Lumayan jauh, harus naik angkutan umum,” kata Sri.
Berbekal kerinduan pada kampung halaman dan semangat untuk memulai hidup mandiri yang terus disuntikkan dalam pelatihan wirausaha, Sri pun memutuskan pulang kampung pada Juni 2014. “Sampai di rumah, saya langsung belanja untuk dagangan di toko. Total modal awalnya sekitar Rp 15 juta,” kata Sri yang kini bergantian dengan suaminya menunggu toko di rumahnya.
“Pengalaman sepuluh tahun menjadi TKI menjadi cambuk bagi diri saya untuk bisa bangkit dengan jerih payah sendiri, tidak lagi menjadi bawahan siapapun,” kata Sri. Dia juga berharap agar pemerintah memberikan pendampingan serta bantuan modal kepada para mantan TKI yang memberanikan diri pulang kampung dan memulai hidup dari nol. “Jangan cuma dibesar-besarkan dengan sebutan pahlawan devisa, tapi begitu sampai di rumah dibiarkan begitu saja,” kata Sri.
Sumber:tempo