Heni Sri Sundani, dari TKI hingga Jadi Perempuan Berpengaruh di Asia
Heni Sri Sundani bisa dibilang menjadi wanita Indonesia yang paling beruntung di Asia. Perempuan berusia 28 tahun ini terpilih menjadi satu dari 30 anak muda yang paling berpengaruh di Asia versi majalah Forbes.
Sebuah prestasi yang tak pernah dibayangkan sebelumnya dari seorang mantan tenaga kerja Indonesia (TKI) Hong Kong ini.
Bukan perkara mudah mencapai kesuksesannya saat ini. Ia masih ingat betul bagaimana perjuangannya dalam menempuh pendidikan di negara orang.
Bekerja sebagai baby sitter di Hongkong tak menyurutkan cita-citanya untuk menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi. Penghasilannya dari profesi baby sitter ia kumpulkan untuk membayar kuliah di Saint Mary's University, Hongkong. Tahun 2011, Heni lulus sarjana dengan nilai cumlaude.
"Satu tahun pertama sangat berat bagiku. Belajar memahami bahasa, budaya dan juga ritme kerja di Hong Kong yang seolah tak pernah berhenti berdenyut. Meski tenggelam oleh kesibukan, aku tetap mengingat mimpiku, kuliah dan menjadi guru," ujar Heni saat berbincang dengan Kompas.com, Rabu (20/4/2016).
Heni menceritakan, saat itu majikannya tidak tahu bahwa Heni kuliah. Jika saja tahu, majikannya pasti akan marah besar. Sebab, Heni pernah satu kali terpergok sedang membaca koran di sela waktu istirahatnya di dapur, majikannya berkata "pembantu itu yang penting bisa menjaga anak, memasak, dan merawat rumah dengan baik. Tidak perlu membaca buku apalagi membaca koran. Katanya tak berguna".
Kata-kata itu terus menjadi cambuk bagi Heni. Tanpa sepengatahuan majikannya, ia pun menghabiskan jatah hari liburnya dengan kuliah dan belajar di perpustakaan yang merupakan fasilitas umum di Hong Kong dan bisa diakses oleh siapa saja dengan gratis.
"Aku pun bisa membeli laptop sendiri dari hasil tabunganku. Perlahan-lahan, aku sering mengirimkan berbagai tulisanku ke koran, majalah atau tabloid berbahasa Indonesia di Hong Kong dan mengikuti berbagai lomba," kenangnya.
Setelah cita-citanya menjadi sarjana tercapai, tiba saatnya bagi Heni pulang ke kampung halamannya di Ciamis, Jawa Barat.
Pulang ke Indonesia dan menjadi guru bagi anak-anak kampung adalah keinginannya sejak kecil.
Sebelum menginjakkan kakinya di kampung halaman, Heni berkesempatan mengikuti Festival Sastra Internasional di Ubud, Bali. Ubud Writers and Readers Festival namanya.
Tulisannya yang berjudul "Surat Berdarah untuk Presiden" mendapatkan banyak apresiasi dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Di sana, Heni mendapat banyak pengalaman dan berinterkasi dengan para penulis dan pembaca dari puluhan negara di dunia. Buku, membaca, dan menulis telah membawakan dunia ke dalam hidupnya.
"Itu cita-citaku. Doa emak (ibu) yang ingin aku menjadi guru agar bisa mengajari anak-anak di kampung terkabul. Apa yang aku dapat sampai hari ini adalah dukungan dari orangtua," tutur dia.
Kini, Heni sudah memiliki lebih 1.000 anak didik dalam program Anak Petani Cerdas. Program ini juga yang membawanya masuk ke jajaran daftar 30 anak muda yang paling berpengaruh di Asia versi majalah Forbes.
Heni juga memiliki belasan usaha sosial. Kegiatan yang dulunya hanya diprakarsai oleh Heni dan suami kini sudah menjadi gerakan bersama teman-temannya yang tersebar di lima benua.
Mereka membantu mendanai kegiatan-kegiatan, seperti memberikan beasiswa untuk anak-anak petani, membantu pengobatan warga kampung, mendirikan MCK, memberikan modal usaha kepada kelompok tani, bahkan memberdayakan para pemuda kampung dan relawan dalam program "Pemuda Wirausaha".
"Aku tahu memberikan ilmu tidak akan membuat ilmuku berkurang, akan tetapi sebaliknya. Ilmuku bertambah dengan terus membaginya. Dan, pada akhirnya aku pun tahu, memberikan sebagian harta takkan membuatku jatuh miskin, tetapi justru akan bertambah keberkahannya dengan rasa syukur. Aku terus bersyukur sehingga aku merasakan banyak kebahagiaan," tutup Heni.
Sebuah prestasi yang tak pernah dibayangkan sebelumnya dari seorang mantan tenaga kerja Indonesia (TKI) Hong Kong ini.
Bukan perkara mudah mencapai kesuksesannya saat ini. Ia masih ingat betul bagaimana perjuangannya dalam menempuh pendidikan di negara orang.
Bekerja sebagai baby sitter di Hongkong tak menyurutkan cita-citanya untuk menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi. Penghasilannya dari profesi baby sitter ia kumpulkan untuk membayar kuliah di Saint Mary's University, Hongkong. Tahun 2011, Heni lulus sarjana dengan nilai cumlaude.
"Satu tahun pertama sangat berat bagiku. Belajar memahami bahasa, budaya dan juga ritme kerja di Hong Kong yang seolah tak pernah berhenti berdenyut. Meski tenggelam oleh kesibukan, aku tetap mengingat mimpiku, kuliah dan menjadi guru," ujar Heni saat berbincang dengan Kompas.com, Rabu (20/4/2016).
Heni menceritakan, saat itu majikannya tidak tahu bahwa Heni kuliah. Jika saja tahu, majikannya pasti akan marah besar. Sebab, Heni pernah satu kali terpergok sedang membaca koran di sela waktu istirahatnya di dapur, majikannya berkata "pembantu itu yang penting bisa menjaga anak, memasak, dan merawat rumah dengan baik. Tidak perlu membaca buku apalagi membaca koran. Katanya tak berguna".
Kata-kata itu terus menjadi cambuk bagi Heni. Tanpa sepengatahuan majikannya, ia pun menghabiskan jatah hari liburnya dengan kuliah dan belajar di perpustakaan yang merupakan fasilitas umum di Hong Kong dan bisa diakses oleh siapa saja dengan gratis.
"Aku pun bisa membeli laptop sendiri dari hasil tabunganku. Perlahan-lahan, aku sering mengirimkan berbagai tulisanku ke koran, majalah atau tabloid berbahasa Indonesia di Hong Kong dan mengikuti berbagai lomba," kenangnya.
Setelah cita-citanya menjadi sarjana tercapai, tiba saatnya bagi Heni pulang ke kampung halamannya di Ciamis, Jawa Barat.
Pulang ke Indonesia dan menjadi guru bagi anak-anak kampung adalah keinginannya sejak kecil.
Sebelum menginjakkan kakinya di kampung halaman, Heni berkesempatan mengikuti Festival Sastra Internasional di Ubud, Bali. Ubud Writers and Readers Festival namanya.
Tulisannya yang berjudul "Surat Berdarah untuk Presiden" mendapatkan banyak apresiasi dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Di sana, Heni mendapat banyak pengalaman dan berinterkasi dengan para penulis dan pembaca dari puluhan negara di dunia. Buku, membaca, dan menulis telah membawakan dunia ke dalam hidupnya.
"Itu cita-citaku. Doa emak (ibu) yang ingin aku menjadi guru agar bisa mengajari anak-anak di kampung terkabul. Apa yang aku dapat sampai hari ini adalah dukungan dari orangtua," tutur dia.
Kini, Heni sudah memiliki lebih 1.000 anak didik dalam program Anak Petani Cerdas. Program ini juga yang membawanya masuk ke jajaran daftar 30 anak muda yang paling berpengaruh di Asia versi majalah Forbes.
Heni juga memiliki belasan usaha sosial. Kegiatan yang dulunya hanya diprakarsai oleh Heni dan suami kini sudah menjadi gerakan bersama teman-temannya yang tersebar di lima benua.
Mereka membantu mendanai kegiatan-kegiatan, seperti memberikan beasiswa untuk anak-anak petani, membantu pengobatan warga kampung, mendirikan MCK, memberikan modal usaha kepada kelompok tani, bahkan memberdayakan para pemuda kampung dan relawan dalam program "Pemuda Wirausaha".
"Aku tahu memberikan ilmu tidak akan membuat ilmuku berkurang, akan tetapi sebaliknya. Ilmuku bertambah dengan terus membaginya. Dan, pada akhirnya aku pun tahu, memberikan sebagian harta takkan membuatku jatuh miskin, tetapi justru akan bertambah keberkahannya dengan rasa syukur. Aku terus bersyukur sehingga aku merasakan banyak kebahagiaan," tutup Heni.