Breaking News

Saat Istri Kerja Ke Lluar Negeri, Apa Yang Harus Dilakukan Suami Di Rumah ?


Peran para orang tua dalam menuntun tumbuh kembang anak sangat vital sebelum anak mendapat pendidikan di sekolah maupun bergaul di lingkungan sekitar, karena proses sosialisasi, pengenalan nilai-nilai sosial diawali dari keluarga.
Namun, hal itu terkadang terabaikan, sehingga peran orang tua dalam melakukan pola asuh kepada anaknya menjadi kurang optimal. Persoalan ini kerap ditemui di lingkungan keluarga pekerja migran di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Para pekerja migran yang sebagian besar perempuan, terpaksa harus meninggalkan anak dan suami mereka karena bekerja di luar negeri, seperti Malaysia, Hongkong, Korea dan Arab Saudi. Akibatnya, pola asuh anak sepenuhnya diambil alih suami. Namun, terkadang lantaran ketidaktahuannya dalam memainkan peran tersebut, acap kali memunculkan beberapa permasalahan, seperti psikologis, tumbuh kembang serta perilaku pada anak.

Penelitian yang dilakukan Seruni Banyumas bersama mahasiswa S2 dan dosen Fakultas Psikologi UI di Dusun Ciuyah, Desa Cihonje, Kecamatan Gumelar beberapa waktu lalu mengungkapkan, bahwa
beberapa anak pekerja migran ada yang merasa rendah diri, tumbuh kembang anak lamban, dan kurangnya komunikasi antara anak dan bapak. Sebagian pola pengasuhan anak pekerja  migran juga
diberikan kepada kakek-neneknya, sehingga perilaku anak menjadi manja.
Penelitian ini difokuskan bagi keluarga pekerja  migran yang memiliki anak di bawah lima tahun (balita) saja. Di Dusun Ciuyah, Desa Cihonje terdapat 183 kepala keluarga. Dari jumlah kepala keluarga itu, hampir 80 persen isteri di dusun itu bekerja menjadi pekerja  migran.

Pengurus bidang advokasi pada Paguyuban Peduli Buruh Migran dan Perempuan, Seruni Banyumas, Narsidah, mengatakan, dari persoalan tersebut kemudian dilakukan treatment pola asuh anak
bagi sepuluh kepala keluarga yang memiliki anak balita, melalui pelatihan fathering.
Pelatihan fathering yang dilakukan selama satu tahun ini, meliputi cara mendidik anak di lingkungan keluarga, mendampingi belajar anak, cara menjalin komunikasi hingga memperhatikan asupan gizi anak. Pelatihan fathering ini telah memberi hasil positif terhadap perbaikan pola asuh anak balita. Para suami buruh migran dapat lebih optimal dalam mendidik dan mengasuh anak.
“Setelah satu tahun mendampingi lewat pelatihan fathering, terjadi perubahan perilaku positif antara anak dan bapak,” kata Narsidah saat ditemui di Kantor Seruni Banyumas di Desa Datar,
Kecamatan Sumbang, pekan lalu.

Komunikasi antara anak dan bapak juga terjalin baik, terutama dalam mengungkapkan kasih sayang. Bahkan, suami rela sepenuhnya berperan seperti ibu dalam mengasuh anak, mulai dari anak
bangun tidur sampai anak tidur lagi. Ia menegaskan, pola asuh yang baik bagi anak-anak pekerja migran sangat menentukan masa depan anak.
“Geneasi kita harus disiapkan secara matang dengan pola pengasuhan yang baik,” ujarnya.


Guru Pos PAUD Budi Sasono Desa Cihonje, Kuswati (44) yang dikut terlibat dalam program pelatihan fathering, mengaku para suami kini lebih memperhatikan tumbuh kembang anak. Mereka tidak lagi
seenaknya melakukan pola asuh anak, bahkan rutin memberi asupan makanan bergizi bagi anak.
“Sebelumnya anak seperti kurang terurus. Contoh kecilnya, baju yang dipakai anak biasanya dua hari baru ganti, tapi sekarang sehari sudah diganti,” katanya.
Selain mampu mengasuh anak dengan baik, para suami juga dapat menjalankan aktivitas masing-masing, seperti menjadi buruh penyadap pinus dan buruh serabutan.
“Pelatihan fathering mampu diterapkan dengan baik oleh para suami di Dusun Ciuyah yang memiliki anak balita,” kata Kuswati.
Ketua Rukun Warga (RW) 17 Desa Cihonje, Nurrohman, menambahkan, setelah mendapat pelatihan fathering, para suami semakin sadar dalam mengasuh anak.
“Suami yang tadinya sikapnya keras, kini mereka lebih peduli terhadap tumbuh kembang anaknya yang balita,” katanya.
Meski pun demikian, ada persoalan lain yang masih menjadi perhatian semua pihak, yaitu penanganan bagi anak yang menginjak usia remaja. Persoalan di desa kantong pekerja migran,
tidak sedikit didapati anak malas sekolah, terutama usia SMP dan SMA karena kurangnya dukungan dari orang tua.
“Setelah fathering, perlu kiranya ada program pelatihan lanjutan untuk masyarakat. Anak usia SMP dan SMA di sini mulai malas bersekolah. Mereka malas mikir tapi lebih senang bermain,” ujar Kuswati.

Permasalahan Pekerja  Migran

Ketua Seruni Banyumas, Lili Purwati mengaku permasalahan pekerja migran sangat kompleks. Penelitian lanjutan yang melibatkan akademisi dan Yayasan Tifa di tiga kecamatan kantong tenaga
kerja Indonesia (TKI), seperti Kecamatan Kedungbanteng, Pekuncen dan Kalibagor, menyebutkan banyak anak perempuan yang tidak merasakan keintiman dengan keluarga dan anak-anak seolah
kurang mendapat dukungan dari orang tua sehingga malas bersekolah.
Anak-anak buruh migran secara psikologis ingin ditemani, namun mereka tidak ada teman untuk mencurahkan apa yang dirasakannya (curhat).
“Saya sempat tanya kepada anak buruh migran apakah mau melanjutkan sekolah hingga kuliah, jawabannya kepingin kuliah, tapi anak itu takut ibunya tidak pulang karena kuliah butuh biaya besar,” katanya.

Malah beberapa anak lain saat diwawancarai sempat menangis, karena mereka jarang sekali merasakan sosok ibu untuk mendampingi belajar maupun untuk teman bercengkerama di rumah.
“Mereka kehilangan sosok ibu. Apalagi sebagian dari mereka ada yang ditinggal hingga sepuluh tahun,” kata Lili.
Persoalan lain, kata dia, di daerah kantong PMI, seperti Kecamatan Gumelar angka perceraiannya tinggi. Persoalan ini biasanya mengarah pada perilaku negatif bagi para orang tua, seperti minum-minuman keras dan main perempuan. Perilaku negatif ini tanpa sadar telah menjadi role model bagi anaknya.

Dari belanja persoalan melalui penelitian di daerah kantong PMI, Seruni Banyumas bekerja sama dengan akademisi dan Yayasan Tifa menggagas pengasuhan anak berbasis komunitas. Pola pengasuhan berbasis komunitas ini membutuhkan keterlibatan berbagai pihak, dengan memberdayakan lembaga-lembaga yang sudah ada di masyarakat seperti, posyandu, PKK, orgasnisasi sosial keagamaan, organisasi pemuda, bahkan pemerintah desa.
“Kami mengajak peran serta masyarakat untuk lebih peka dan bersedia memberikan pendampingan kepada anak buruh migran, karena persoalan ini masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama,” kata Lili.