Breaking News

Kisah Perjuangan TKI di Taiwan, Bekerja sambil Kuliah di Universitas Terbuka


 
Taiwan-Ternyata tak sedikit  tenaga kerja Indonesia (TKI) di Taiwan yang nyambi kuliah. Bahkan, beberapa diantaranya sudah mengantongi ijazah sarjana. dilansir dari Jawa Pos , belum lama ini menemui sebagian di antara mereka. Inilah catatannya.


CAHAYA remang-remang keluar dari sela-sela pintu toilet di sebuah rumah di Taipei City, Taiwan. Cahaya itu ternyata berasal dari laptop seorang buruh migran. Sebut saja namanya Yeni. Dengan sembunyi-sembunyi, Yeni membuka Skype hampir tiap malam. Selepas bekerja mendampingi majikan. Dia berdialog dengan beberapa orang. Sesekali mencatat da¬lam kertas. Begitu ada kesempatan, catatan itu diketik di laptop.

"Yeni takut dipergoki majikannya," kata Humas Badan Pelaksana (Bapel) Universitas Terbuka Cabang Taiwan (UTT) Arieviana Ayu Laksmi. Sang majikan melarang perempuan itu menyalakan listrik di kamarnya setelah bekerja. Dia harus tidur.

Padahal, Yeni tidak sedang berpacaran atau menonton sesuatu di Youtube ketika menyalakan laptop. Tapi, dia sedang kuliah dengan grupnya di Skype. Kuliah online Saat ini Yeni tercatat sebagai mahasiswa semester V Universitas Terbuka Indonesia Cabang Taiwan. Kalau majikan tahu, cepat-cepat dia mematikan laptop dan pura-pura sedang buang hajat atau mandi.

Kisah seperti Yeni itu juga dialami beberapa TKI lain di Taipei. Misalnya Zhella. Mahasiswa semester III Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi UTT itu harus kucing-kucingan dengan majikan. Zhella pun harus membeli lampu kecil untuk pencahayaan bila sedang "kuliah" lewat Skype saat malam, ketika semua keluarga majikan sudah tidur. Dia juga menjauhkan segala hal yang terkait dengan kuliah dari keluarga majikan. Surat-surat dari UTT tidak dialamatkan ke rumah majikan, melainkan di tempat lain yang aman.

"Zhella sekarang pindah majikan," kata pengurus Divisi Sosial Budaya dan Kreasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UTT Ike Lindiyani.

Menurut Ike, beberapa rekannya memang mengalami kesulitan belajar. Sebab, sang majikan melarang pembantunya kuliah. Mereka dipandang sebelah mata.

"Tugas kami hanya bekerja. Masak pembantu saja kuliah," ungkap TKI asal Indramayu, Jawa Barat, yang kini nyambi kuliah di Sastra Inggris UTT itu.

Namun, para TKI tidak menyerah. Berbagai cara dilakukan asal bisa kuliah, meski dengan sembunyi-sembunyi. Mereka membeli laptop dan mengakses internet sendiri. Lalu, memanfaatkan hari libur kerja untuk belajar. Perjuangan para TKI dalam menempuh pendidikan tinggi itu sering membuat mahasiswa Indonesia yang berkuliah di perguruan tinggi Taiwan merasa malu.

"Mahasiswa (Indonesia) kadang ada malasnya meski dapat beasiswa. Sedangkan mereka (para TKI) kuliah di UT dengan membayar sendiri," tambah Ayu, panggilan Arieviana Ayu Laksmi.

TKI lain bernasib lebih baik daripada Yeni dan Zhella. Mereka bisa bekerja sambil kuliah tanpa harus kucing-kucingan dengan majikan. Terutama para TKW yang menjaga majikan lansia (lanjut usia). Sebab, waktu mereka lebih longgar. Selain itu, mereka bisa nyambi kuliah di sela-sela menjaga sang majikan.

Bahkan, kata Ayu, ada juga majikan yang baik hati. Mereka mempersilakan pembantunya bekerja sambil kuliah asal tidak mengganggu pekerjaan rutinnya. "Malah ada majikan yang sampai mengantarkan si pembantu untuk mendaftar kuliah, membelikan laptop, dan memberi fasilitas wifi di rumah," papar Ayu.

"Jadi, tidak perlu sembunyi-sembunyi di WC kalau mau kuliah. Begitu ada waktu, dia bisa buka laptop," lanjut perempuan asal Desa Wadungasih, Buduran, Sidoarjo, itu.

Kuliah di UTT memang diakukan secara online via internet. Dalam satu semester, perkuliahan tatap muka hanya berlangsung 2-3 kali. Biasanya pukul 08.00 hingga 17.00 pada Sabtu atau Minggu.

Para TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Taiwan umumnya diberi tugas menjaga ama (nenek) atau akong (kakek) selama ditinggal sang majikan bekerja di luar rumah. Itu sepanjang hari. Bila sudah demikain, tak jarang para TKI harus berkorban dengan menyewa buruh migran dari negara lain, misalnya Filipina, untuk menggantikan perannya sementara menjaga orang tua majikan, selama si TKI sedang kuliah.

"Yang penting kami bisa kuliah," tambah mahasiswa keperawatan di National Cheng Kung University, Tainan, tersebut. Biaya kuliah pun bukan beban berat bagi para TKI. Satu semester mahasiswa UT Taiwan membayar sekitar 6.000 new Taiwan dollar atau sekitar Rp 1,6 juta.

Ayu mengaku pernah dimintai tolong seorang mahasiswa UTT yang sudah berusia 40 tahun. Namanya unik: Pak Cinta. Ayu terharu mengingat kenangan itu. Sebab, Pak Cinta sudah menitipkan uang kuliahnya untuk semester depan meski semester sebelumnya masih berlangsung. Dia khawatir tidak punya uang kuliah bila tidak segera "menabung" di tempat Ayu.

"Baru kali ini ada biaya kuliah sampai inden," ungkap Ayu.

Wahid Dian Budiyanto dari Bapel UTT di Tainan menjelaskan, ada tiga jurusan di UTT. Yaitu, manajemen, komunikasi, dan sastra Inggris. Para tutor umumnya adalah dosen dari perguruan tinggi negeri di Indonesia yang berkuliah di Taiwan. Jumlah total mahasiwa UTT saat ini sekitar 300 orang. Kebanyakan para TKI.

Waktu kuliah ditempuh selama 8 semester atau 4 tahun seperti perguruan tinggi lain. Mereka akan menjalani ujian akhir semester (UAS) di dua tempat. Pertama di Kantor Dagang Ekonomi Indonesia (KDEI), Taipei City. Itu diperuntukkan mahasiswa yang tinggal di Taiwan Utara. Yang kedua di Tainan bagi mahasiswa yang berdomisili di Taiwan Selatan.

Biasanya UAS dilakukan dua kali pada Minggu berturut-turut. "Satu kali ujian langsung lima mata kuliah sehari," ujar Dian. Meski berat, mahasiswa UTT tidak pernah mengeluh. Mereka malah senang seperti itu karena jauhnya tempat ujian dan mahalnya biaya transportasi di sana.

Setelah dinyatakan lulus, ijazah akan diserahkan di KDEI, Taipei. Tahun ini wisuda sudah dilangsungkan pada Mei 2016. Ada 14 TKI yang dinyatakan lulus dan berhak mendapatkan gelar sarjana. Kebanyakan perempuan. Saat wisuda, mereka benar-benar bersukacita. Sebab, sarjana UTT mempunya derajat yang sama dengan ijazah perguruan tinggi negeri.

Saking senangnya, para buruh migran itu biasanya langsung menyatakan keinginannya untuk kuliah S-2. "Saya ingin langsung melanjutkan kulaih S-2 di sini (perguruan tinggi Taiwan, Red). Apa boleh?" ungkap Dian menirukan pertanyaan si TKI yang sarjana baru itu.

Arek Prambon, Sidoarjo, itu biasanya tidak bisa langsung menjawab. Meski begitu, dia mengapresiasi semangat para TKI tersebut.

Koordinator Bapel UTT Akmalul Ulya menambahkan, meski berstatus buruh migran, mahasiswa UTT juga punya banyak prestasi. Misalnya, Euis Komariah yang sukses meraih peringkat ketiga turnamen taichi President Cup 2015 di Taichung. Dia juga mengoleksi beberapa medali emas dari kejuaraan semacam yang diikuti. Menariknya, Euis dilatih sendiri oleh sang majikan.

Selain Euis, mahasiswa sastra Inggris bernama Sri Setyana meraih juara lomba tour guide. Sri juga menjadi pembicara di beberapa stasiun TV setempat dan di forum-forum publik. Sedangkan Dwi Susanti sukses membangun brand busana muslimah di Taiwan.

Mahasiswa lain yang mengukir prestasi bernama Ryan Ferdian Darsudi. Mahasiswa jurusan komunikasi itu menerbitkan kumpulan cerpen bersama sepupunya. Cerpen tersebut juga diterbitkan di Indonesia. Sudah dicetak dua kali. Judulnya Ngasag, yang dalam bahasa Jawa berarti mengambil sisa-sisa panen di sawah.

Ryan tidak berhenti sampai di situ. Demi mengabadikan karyanya, lelaki 37 tahun kelahiran Cilacap itu mendirikan pondok baca di Lebak, Banten, kampung halamannya. Semuanya gratis.

"Sekarang saya semester VIII. Tapi, mengulang sebagian kuliah karena sempat cuti di semester VI," kata pekerja pabrik yang tinggal di Distrik Taoyuan tersebut.

Di Taiwan, nama Ryan cukup populer. Dia sering masuk koran lokal untuk berbagai kegiatan. Ada kegiatan modeling, pentas seni, sampai kegiatan literasi. Dia beberapa kali tampil sebagai cover boymajalah di Taipei. Karena itulah, dia tidak sulit mengajukan izin kepada majikan jika ada kegiatan."Istilahnya, majikan saya ikut bangga dengan prestasi pegawainya," ungkap Ryan.


Sumber : jawapos