Breaking News

Laki-laki Banyak Tak Bertanggung Jawab, Jumlah Janda Meningkat

Ilustrasi (Foto: Reuters)
Pengadilan Agama sepertinya memang bukan tempat yang menyenangkan. Meski memiliki banyak fungsi lainnya, lembaga peradilan di bawah payung Mahkamah Agung kini idientik sebagai tempat perceraian. Dari hakim hingga pengacara yang berada di ruang persidangan punya tugas memisahkan dua insan yang masih terikat ikatan pernikahan.

Kelakar semacam ini tak ditepis Rustam A Kadri, Humas Pengadilan Agama Kelas I-A Pontianak. Ia mengakui bahwa kasus perceraian masih menjadi perkara dominan yang ditangani pihaknya. “Untuk 2016 misalnya, dari 1.599 perkara yang masuk 1.239 perkaranya adalah kasus perceraian baik itu cerai talak ataupun cerai gugat,” ucapnya seperti mengutip Jawa Pos, Senin (6/2/2017)
Ia menjelaskan, sesungguhnya banyak perkara yang disidangkan di Pengadilan Agama. Bukan hanya perceraian. Mulai dari urusan pembagian warisan, isbat nikah, izin anak di bawah umur untuk menikah hingga pengajuan izin berpoligami.

“Dan seperti dalam UU Nomor 3 tahun 2006, bahkan peradilan agama juga memiliki kewenangan untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara terkait ekonomi syariah,” tutur Rustam.

Berdasarkan data yang dipegangnya, ia menjelaskan, angka perceraian di kota Pontianak cenderung meningkat meski pada 2016 menurun dari tahun sebelumnya. “Untuk tahun 2015 jumlahnya mencapai 322 cerai talak dan 1.048 cerai gugat, sementara tahun 2016 menurun menjadi 237 cerai talak dan 1.002 cerai gugat,” ujar dia.

Klarifikasi cerai talak dan cerai gugat adalah berdasarkan pihak yang mengajukan perceraian. Cerai talak merupakan perceraian dimintakan oleh pihak suami. Sementara cerai gugat adalah perceraian yang diajukan oleh pihak istri.

“Memang dari tahun ke tahun, permintaan perceraian ini lebih banyak diajukan oleh pihak istri,” kata Rustam.

Terkait penyebab perceraian, ia menyatakan, data untuk tahun 2016 belum selesai direkap. Namun, jika merujuk data pengadilan agama pada beberapa tahun sebelumnya, penyebab utama perceraian adalah tidak adanya lagi keharmonisan dan tanggung jawab.

“Kalau tidak harmonis ini misalnya ketika baru nikah rukun, tapi kemudian sesudah berjalan sekian tahun mulai tidak sejalan. Atau seperti banyak terjadi sekarang, dengan kecanggihan teknologi, ada SMS masuk dari cewek, dibaca istri kemudian cemburu, lalu bertengkar,” ucap Rustam.

Ia menyebut, ketidakharmonisan yang menjadi penyebab perceraian ini biasanya tertuang dalam gugatan bersifat umum dan memiliki rincian beragam. Untuk penyebab lainnya, yaitu kurangnya tanggung jawab jamak diajukan pihak istri atau cerai gugat. “Ketika suami tidak memiliki kesungguhan untuk memenuhi tanggung jawabnya membahagiakan istri, malas berkerja dan sebagainya,” tuturnya.

Yang menarik lagi, dari lima besar faktor penyebab perceraian kurun dua tahun terakhir, tidak adanya tanggung jawab dan gangguan dari pihak ketiga mengalami peningkatan signifikan. Jumlah kasus perceraian karena tidak adanya tanggung jawab naik sekira 40%. Sementara, pernikahan yang harus berakhir akibat kehadiran orang ketiga bertambah hingga 70%.

Sementara, terkait usia mereka yang mengajukan perceraian, Rustam mengaku Pengadilan Agama Kelas I-A Pontianak belum melakukan klasifikasi tersebut. Karenanya, ia belum bisa mengkonfirmasi pada usia berapa paling dominan terjadinya perceraian.

“Tapi kalau berdasarkan pendangan kita di lapangan, bahkan yang tua-tua juga banyak yang datang ke sini untuk bercerai,” ucap Rustam. 
Sumber:OkeZoneNews