Breaking News

Kisah Sukses Wanita yang Memiliki Suami Pengangguran Hingga Jadi TKI dan Akhirnya Sukses : “Penderitaan yang Aku Alami Menuju Kesuksesan”



Aku ceritakan semua kisahku tanpa malu agar menjadi pelajaran semua orang. Semua yang aku alami sudah digariskan oleh Yang Maha Pencipta. Aku dilahirkan dari keluarga yang sederhana, kedua orang tuaku petani sawah garapan. Setiap pagi jam 1, mamaku berangkat ke pasar menjual sayur bersama bapakku, sedangkan di siang harinya mereka sama-sama ke sawah. Itulah pekerjaan kedua orang tuaku tiap harinya, sampai-sampai kami jarang diperhatikan.

 Aku anak pertama dari empat bersaudara, dua perempuan dan dua laki-laki. Kini aku sudah menikah, tepatnya sembilan bulan yang lalu. Aku kawin muda, pernikahan kami sebenarnya tidak disetujui oleh orang tuaku, karena pada saat itu aku telah hamil duluan, jadi kedua orang tuaku pun merestui kami untuk menikah. Aku menikah di usia yang sangat muda, dimasa aku beranjak dewasa. Dengan hati yang kecewa dan sedih, mereka menerimanya sebagai menantu. Padahal mereka sangat benci dengannya karena dia ugal-ugalan, pemabuk, dll. Bukan hanya itu saja, di sisi lain, waktu itu aku sedang dijodohkan dengan seorang insinyur pertanian.

Aku pun menuruti kata-kata orang tuaku saat itu, walaupun jarak usia kami sangatlah jauh. Insinyur itu 15 tahun lebih tua dariku, tapi apa yang terjadi semua diluar dugaan. Aku telah menjalin hubungan dengan dia yang sekarang sudah menjadi suamiku. Secara diam-diam hubungan kami sudah begitu jauh, dan akhirnya orang tuaku pun mengetahuinya. Mereka terkejut dan sangat terpukul, tapi apa boleh buat, cinta memang tidak bisa dipaksakan. Saat itu juga, akhirnya kulupakan insinyur itu. Kutemui dia dan minta maaf padanya. Dengan berat hati aku putuskan hubunganku dengan insinyur itu.

Bulan demi bulan berlalu, kandunganku pun semakin membesar. Aku melahirkan anak prematur di usia 7 bulan. Melihat kehadiran anakku, aku merasa senang bercampur haru juga sedih, karena di sisi kesenanganku mempunyai anak, aku juga harus mulai memikirkan masa depan anakku kelak. Sedangkan saat itu suamiku kebanyakan menganggur tidak ada pekerjaan. Kalau kurang uang, ia pasti minta kepada orang tuanya. Waktu itu kehidupan orang tua suamiku cukup beruang.


Setiap harinya jika tidak bekerja, suamiku selalu berkumpul dengan teman-temannya sambil mabuk. Lama kelamaan aku mulai merasakan bahwa aku hidup dalam segala ketidak pastian, sangat terombang ambing, sedih bercampur menderita. Bayangkan saja, di waktu aku masih tinggal bersama orang tuaku, hampir setiap hari aku bertengkar dengan suamiku hanya karena masalah sepele. Sifat suamiku begitu keras, mudah tersinggung dan cepat marah, hingga kedua orang tuaku sering mengusap dada melihat kami yang selalu bertengkar. Semua ini kusadari karena kami yang sama-sama masih muda dan belum mengerti apa artinya sebuah pernikahan dan juga masih belum mengerti bagaimana mengurus rumah tangga yang baik dan menjadi keluarga yang Sakinah.

Hingga suatu ketika, hanya gara-gara menyuruh dia membantu orang tuaku yang sedang menjemur padi di luar rumah. Dia tidak bersedia. Mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya, jelas aku naik pitam. Aku bentak dia dan akhirnya kami pun bertengkar dan suamiku membanting gelas. Pertengkaran kami didengar jelas oleh bapakku dan bapakku memanggilku ke belakang.


Setelah aku menjelaskan semua kejadiannya, bapakku marah dan ditemuinya suamiku. Bapak memarahi suamiku sampai kata-kata seperti mengusir secara halus keluar dari mulutnya. Bapak berkata pada suamiku:”Kalau kamu sudah tidak betah tinggal disini, silahkan pergi, tapi jangan membanting barang yang tidak tahu apa-apa. Tinggalkan istri dan anakmu, aku sanggup memberi makan anak dan cucuku. Selama ini aku sudah cukup sabar melihat tingkah lakumu!”
Spontan suamiku sangat tersinggung dan marah sekali, tapi tidak diperlihatkan kepada orang tuaku, malah marah kepadaku. Malam harinya kira-kira jam 8, secara kebetulan waktu itu kedua orang tuaku sedang pergi, ia langsung membawa anakku pergi ke rumah orang tuanya. Aku berusaha mencegahya, tapi tidak berhasil, malah pertengkaran yang muncul. Ketika orang tuaku kembali, mereka menanyakan dimana anakku, akhirnya mereka mengetahui anakku dibawa pergi oleh ayahnya.

Mendengar hal itu orang tuaku langsung berkata:”Tidak apa-apa, anakmu tidak usah dijemput, nanti dia kembali lagi kesini, tidak mungkin lama disana, percayalah!” Ternyata benar, hanya dua hari setelah kejadian itu suamiku pulang bersama anakku, dan saat itu juga dia minta maaf kepada kedua orang tuaku. Dengan berat hati orang tuaku pun memaafkannya

 Hampir dua tahun aku hidup bersama orang tuaku, selama itu juga aku hidup penuh derita akibat ulah suamiku. Akhirnya aku dibuatkan rumah oleh orang tuaku dengan alasan agar sifat suamiku berubah dan mau kerja keras, juga punya rasa tanggung jawab untuk menghidupi istri dan anak. Tapi kenyataannya justru tambah parah dan runyam. Di rumah baru, kami juga sering bertengkar dan banyak tetangga yang mendengarnya. Yang lebih parahnya lagi, tiap hari ia malah lebih banyak menganggur daripada bekerja. Kalau kurang uang, ia kembali minta kepada orang tuanya.

Berbulan-bulan kulalui hidup bersama suamiku, aku jarang merasa senang, juga diliputi dengan berbagai kebingungan. Aku memikirkan nasib anakku kelak, ia yang semakin hari semakin besar pasti membutuhkan biaya untuk hidupnya. Kepada siapa aku hendak mengadu, sedangkan aku tidak punya kakak, jika ingin mengadu kepada kedua orang tuaku, itu tidak mungkin… Mereka pasti berkata itu adalah pilihanku dan itulah resiko mengapa aku dulu tidak menuruti mereka. Jika aku mengikuti kata-kata mereka dulu, pasti tidak seperti ini kejadiannya.


Akhirnya kupendam sendiri masalah yang aku alami, hingga suatu ketika, secara tidak disengaja, aku mendengar dari radio ada iklan tentang lowongan kerja untuk menjadi TKI ke luar negri dengan gaji yang mengiurkan. Tanpa berpikir panjang, aku diam-diam datang ke PT tersebut yang kira-kira jaraknya satu jam dari rumahku. Aku gendong anakku ditemani dengan adik perempuanku untuk menanyakan syarat-syarat menjadi TKI. Setelah mengetahui syarat-syaratnya, kutemui kedua orang tuaku dan minta persetujuan dari mereka. Mereka tidak mengizinkanku untuk bekerja ke luar negri, katanya suamiku keenakan. Aku menjelaskan bahwa aku bekerja untuk anakku kelak, tidak ingin mengharapkan ayahnya yang kerjanya tidak pasti. Panjang lebar aku jelaskan, akhirnya aku diperbolehkan untuk menjadi TKI.

Masih belum cukup penderitaan yang aku alami, suami yang dulunya aku sayang dan cintai, sekarang perasaan itu pudar akibat ulahnya. Saat itu aku sudah benci sekali sama suamiku, tapi apa boleh buat, dalam keluargaku tidak diperbolehkan adanya perceraian, karena sekali ada perceraian, itulah awal segala kehancuran, terutama bagi masa depan anak. Bagaimana pun juga, aku harus menerima kenyataan bahwa ia adalah suamiku, ayah dari anakku. Jika tidak memikirkan anakku, mungkin aku sudah cerai tanpa peduli apa kata orang tuaku.


Bayangkan saja, ketika aku mengajaknya untuk menemaniku mengurus surat-surat, dia mengeluh dengan berbagai alasan. Akhirnya aku pun menggendong anakku sendiri dan mengurus surat-surat, sampai ke kantor polisi pun aku harus pergi sendiri. Betapa sedihnya aku, sambil berjalan sambil meneteskan air mata. Mengapa cobaan yang aku alami seberat ini, apakah ini imbalan dari perbuatanku? Sampai kapan aku harus terus begini, aku tidak akan menyerah begitu saja. Yang ada di pikiranku saat itu hanyalah cara untuk mendapatkan uang yang banyak agar masa depan anakku kelak cerah. Kerja apapun, walau jadi TKI, semua akan kulakukan, yang penting halal.
Lengkap sudah surat-surat untuk jadi TKI. Malam harinya dengan perasaan berat dan sedih, diiringi dengan tetesan air mata, kutinggalkan anakku yang saat itu berumur 19 bulan ke Jakarta.

Sesampainya di Jakarta, aku bersama sponsor tiba di sebuah PT dan mendaftarkan diri. Tadinya tidak diterima karena umurku belum 25 tahun. Dengan berbagai cara sponsorku bilang sama staff PT agar aku diterima dan umurku dituakan. Akhirnya kau pun diterima. Hari demi hari ku lalui, bulan demi bulan kulewati dengan sabar menunggu adanya majikan yang ingin mengambilku. Sial juga nasibku, lima bulan lamanya aku di PT dan pahit cerita kehidupanku di penampungan. Aku tak akan menyerah begitu saja, aku harus terus maju. Pertengahan Januari aku terbang ke Taiwan. Di sepanjang perjalanan, hatiku dag dig dug, takut memikirkan majikan seperti apa yang akan kutemui nanti.


Malam harinya aku tiba di Taiwan. Keesokan harinya setelah medikal, aku diantar oleh agency ke rumah majikan. Dengan rasa takut dan gemetaran, aku selalu berdoa meminta agar majikan yang aku temui tidak galak, tidak cerewet, pokoknya baik. Alhamdullilah aku bersyukur, ternyata Tuhan masih mau mendengar doaku. Majikanku baik sekali, disini aku menjaga akong yang berumur 80 tahun dan masih sehat. Majikanku dan menantu akong semuanya sangat baik, semua kebutuhanku dicukupi oleh menantunya, bahkan tiap bulan aku diberi uang oleh anaknya akong untuk telepon ke Indo. Kerinduanku akan kampung halaman lama kelamaan pudar, karena di Taiwan aku tidak menderita tapi kesenangan.


Tidak kusangka, aku hanya bisa menjaga akong 2 tahun 1 bulan. Akong meninggal karena penyakit jantung yang dia derita. Kemudian aku dipindah majikan ke Taipei, tepatnya di Shi Lin. Kerjaanku menjaga akong juga. Sebelas bulan pun telah berlalu, tiga tahun sudah aku lalui tanpa terasa dan aku pun pulang ke Indonesia dengan kesuksesanku. Dengan uang jutaan aku bisa membeli tanah, memperindah rumah, memberi uang ke orang tua dan mertua, lalu beli mobil untuk suamiku dagang sayur. Yang paling bisa aku banggakan adalah, aku dapat membiayai adikku yang ketiga untuk menjadi ABRI. Sekarang Alhamdullilah, adikku sudah menjadi ABRI dan ditugaskan ke Irian Jaya.

 Itulah jerih payahku selama aku bekerja di Taiwan. Sekarang aku sudah mempunyai apa yang aku impikan, tapi aku kembali lagi ke Taiwan untuk yang kedua kalinya. Ceritanya panjang dan salah satu alasannya adalah, aku masih membutuhkan NT mu, Taiwan. Sampai kapanpun juga, aku tidak akan melupakanmu, Taiwan, karena engkaulah masa depan anakku terjamin. Terima kasih Tuhan, terima kasih Taiwan.
sumber:Indosuara