Kisah TKI yang Diancam Kehilangan Gaji 4 Bulan Karena Gigi Palsu : “Gigi Palsu Kakek”
Taiwan-Pagi yang cerah, “Cao!” Ku sapa satpam yang selalu standby di pagar apartemen tempatku bekerja. “Akong Cao! Jin thian thian chi hen hao,” sapa satpam pada kakek.
“Shi,” jawab kakek ketus.
“Dasar kakek galak,” batinku.
Panggil saja aku S, dua setengah tahun lebih aku di Taiwan. Jobku jaga Akong berumur 85 tahun, tinggi ganteng, cerewet, pikun dan suka makan seperti gilingan tahu. Masih bisa jalan, tetapi karena dia malas jadi memakai kursi roda. Aku menyukai jobku, keluarganya baik apalagi setiap pagi dan sore kakek selalu minta ke taman, jadinya aku gak terlalu boring…
Hari ini cerah, seperti biasa ku giring kakek ke taman untuk “dipanasi”. Ku dorong kursi roda ke jalan yang biasa ku lewati setiap hari, sambil melirik sana sini menyapa tetangga kanan kiri. Tiba-tiba…
“Tekk…”
“Suara apa itu?” tanyaku.
Aiyahhh… dasar kakek, gigi palsunya dibuang. Kakek memang memakai gigi palsu atas dan bawah, karena dia pikun, dia tidak tahu kalau itu gigi. Lalu ku ambil gigi palsu kakek yang dibuang di halaman rumah orang, ku taruh gigi palsu itu dalam plastik dan ku masukkan dalam tas yang ku cangking tiap hari, sekarang kakek hanya memakai gigi palsu atas. Tanpa pikir panjang, ku genjot dan ku lanjutkan perjalanan.
Rasa haus yang datang mengharuskan ku untuk berhenti sejenak di 7-11 terdekat, setelah membeli sebotol air kembali aku lanjutkan perjalanan ke taman. Sesampai ditujuan, aku langsung menuju tempat duduk yang selalu aku duduki. Majikanku melarangku berkumpul dengan teman-teman di taman, walaupun begitu tetap saja aku bisa menggosip jarak jauh.
Ku keluarkan anggur yang aku bawa dari rumah, kakek sangat menyukai buah anggur. Dengan tak sabar kakek mengambil anggur dan langsung masuk ke mulut lebarnya.
“A… yao bu dong,”
“Oh ya… kakek kan hanya ada gigi atas pantas ga bisa gigit,” tutur batinku. Aku langsung memasang gigi bawah kakek, tetapi anehnya ia tetap bilang ga bisa gigit.
“Aneh, sungguh aneh…” gumamku.
Setelah aku periksa, “Ha… wan dan… mampus… cilaka… kepriben…”
Gigi atas kakek hilang! Aku langsung bingung, aku mencari atas, bawah, kanan, kiri, jongkok, nungging sampai ndlosor, tetap tidak ada!
Aku langsung menyimpan kembali anggur dan gigi palsu kakek, “Bu yao che,” kataku pada kakek. Aku langsung tancap gas balik ke arah jalan pulang.
“Hai… S, kenapa balik lagi?” teriak salah satu temanku.
“Gigi kakek hilang,” teriakku. Semua orang langsung tertawa.
Aku berjalan bolak-balik, mondar-mandir kesana kemari. Mereka yang melihatku pada bingung, ah… ditambah kakek marah-marah. Aku memutuskan membawa kakek pulang ke rumah dan melapor pada thai-thai mengenai gigi atas kakek. Thai-thai yang menerima berita dengan kaget memberi tahu harga gigi palsu itu NT 60.000!!
“Wan dan… gaji 4 bulan,” gumamku, “Tekor dah…”
Waktu menunjukkan pukul 11.30, waktunya masak. Sambil masak, pikiranku tak lepas dari gigi palsu itu. “Kring…” bunyi telepon kamar rumahku. Aku tinggalkan dapur dan berlari ke kamar. Di ujung telepon terdengar suara anak perempuan kakek, hari ini hari Minggu ia mau pulang.
“Mampus, ce me pan?!” jantungku berdetak lebih kencang.
Dengan terpaksa aku telepon balik untuk memberi tahu perihal gigi palsu yang hilang, belum sempat aku jelaskan, semprotan yang langsung aku terima.
“Pokoknya harus ketemu!” teriaknya dalam telepon.
Setelah selesai memasak tanpa istirahat dan makan, aku meminta izin pada majikan untuk mencari gigi palsu itu. Aku tinggalkan kakek di rumah, aku mulai mencari di rumput-rumput, pagar, selokan seakan seorang pemulung, berjalan berkeliling bolak-balik di bawah teriknya matahari. Detik waktu terus berputar, waktu menunjuk pukul 15.30, berarti hampir 3 jam perjalananku dalam pencarian ini, tanpa makan dan minum, namun tetap nihil. Aku dikagetkan dengan bunyi hp kakek yang aku bawa.
“Wei…” sapaku, tanpa aku duga dampratan dan semprotan anak perempuan kakek datang lagi. Dia marah besar, aku tertunduk dan berdoa pasrah, hen lei…
“Aha… kamera!” setiap sudut jalan di Taiwan hampir selalu ada kamera. Aku berdiri, semangatku kembali lagi. “Cia you…” teriakku dalam hati. Aku berlari mencoba mencari tahu, aku menemukan seorang bapak yang sedang duduk di teras. Dengan bahasa yang pas-pas an aku bertanya “ Pak, mohon tanya sebenarnya dimana kita bisa melihat kamera jalan?” tanyaku gugup.
Sumber:Indosuara