Saya Harus Menahan Tangis Melihat Anak TKA Dititipkan di Shelter Taiwan
Taiwan-Kemarin, saya dan beberapa mahasiswi serta ibu-ibu yang tergabung dalam Persaudaraan Muslimah Taiwan (SALIMAH Taiwan) berkesempatan mengunjungi salah satu tempat penitipan (shelter) anak Tenaga Kerja Asing (TKA) di Taipei. Shelter anak ini berlokasi di sekitar Wenshan District, tidak jauh dari Rumah Sakit Wanfang. Tempatnya tidak sulit diakses. Hanya perlu naik MRT dan turun di stasiun MRT Wanfang Hospital, lanjut naik bus turun di halte Taiwan Police College, lalu berjalan kaki sekitar 300 meter.
Kami berkunjung dalam salah satu kegiatan Ramadhan SALIMAH Taiwan. Saat masuk ke sana, saya diwajibkan melepas alas kaki, memakai masker, mensterilkan tangan dengan cairan antiseptik, serta memakai apron. Untuk apa? Mungkin untuk menghindari penularan penyakit.
Di lantai pertama, saya langsung melihat banyak anak usia balita yang sedang bermain bersama beberapa pengasuh. Di lantai atas ada tempat bayi yang berusia lebih muda daripada penghuni lantai bawah. Saya dan rekan-rekan diperbolehkan untuk bermain bersama anak-anak tersebut.
Tak sabar, saya pun langsung masuk ke arena bermain anak-anak balita yang lucu dan menggemaskan itu. Saat itu siang hari. Ada beberapa anak yang tidur siang, dan ada banyak lainnya yang masih terlihat ingin bermain-main dengan pengasuhnya.
Seorang rekan saya tidak dapat menahan air matanya melihat anak-anak ini. Sebernarnya saya pun demikian, tapi saya tahan. Saya tidak tega membayangkan mereka di usia sebelia ini sudah ditinggalkan di sini oleh orang tuanya yang kebanyakan TKA dari Indonesia.
Segera setelah memasuki arena bermain, saya melihat beberapa anak menangis dan berebut minta dipeluk pengasuh yang jumlahnya memang hanya beberapa. Ada satu anak berkaos kuning, berusia kurang lebih 1,5 tahun menangis merajuk minta digendong. Ya Allah, kasihan anak ini pasti rindu pelukan ibunya.
Saat saya gendong, langsung saja ia lekat seperti bayi koala. Sama sekali tak mau dilepas. Tangisnya baru mereda setelah saya elus halus punggungnya. Sepertinya, bayi yang dinamai “Pala” oleh pengasuhnya ini memang ingin dininabobokan dengan cara ini. Sambil memeluk bayi itu, saya bertanya pada pengasuhnya mengapa diberi nama “Pala”. Ternyata, karena saking banyaknya, semua anak di sini diberi nama buah-buahan dan binatang, bukan nama dari orang tuanya.
Ada setidaknya 150 anak dan bayi yang ditinggalkan atau dititipkan oleh orang tuanya di shelter ini. Sebagian besar orang tuanya TKA ilegal yang kemudian entah bagaimana bisa hamil dan melahirkan anak di Taiwan. Lalu, karena tidak mungkin terus bekerja atau pulang dengan membawa anak ke tempat asalnya, mereka menitipkan atau meninggalkan anaknya di shelter ini.
Saya kembali memperhatikan wajah-wajah anak-anak lucu ini. Ada yang berwajah sangat Asia Tenggara, namun ada pula yang bermata sipit. Rasanya tak sanggup saya membayangkan bagaimana latar belakang mereka dan cerita seperti apa yang mengantarkan mereka hingga harus tumbuh di tempat ini. Mereka sebenarnya adalah generasi penerus bangsa yang potensial untuk turut memajukan peradaban lebih baik.
Sambil mendoakan bayi “Pala” saya membisikinya sebuah kalimat, “Sabar ya, Nak. Jadilah anak kuat, anak shalih.” Lalu, dengan berat hati saya harus meninggalkannya terduduk dan kembali menangis di lantai shelter.
Anak-anak ini, adalah anak bangsa yang dititipkan Tuhan di negeri asing, bertumbuh dengan bahasa asing, dan bersama orang asing. Kelak, semoga mereka dapat kembali ke pelukan Ibu Pertiwi dengan keadaan yang lebih baik.
Dengan tulisan ini saya juga ingin menyampaikan pesan pada saudara di tanah air Indonesia. Berilah kesempatan bagi saudara kita yang pulang dari negeri asing untuk membangun masa depan yang lebih baik bersama keluarganya, bagaimana pun keadaannya.
sumber: mepnews